30. Korban Kebobrokan

73 4 14
                                    

Kukuh menghentikan laju kendaraannya di rumah kontrakan Eci. Laki-laki itu dengan sigap membukakan pintu untuk pacarnya. Tak lupa belanjaan segunung dia ambl dari bagasi belakang. Tak lama kemudian, sebuah truk pengangkut beras datang menuju pekarangan rumah Eci. Eci membulatkan matanya, sedangkan Kukuh tampak menyuruh sopir itu untuk lebih mendekat.

"Pak, ini ada bagi-bagi sembako? Kenapa ada truk pengangkut beras?" tanya Eci bingung.

"Ini aku belikan untuk persediaan kamu," jawab Kukuh.

"Bapak ngaco, ya?" teriak Eci tanpa sadar.

"Gak, aku waras sewaras-warasnya. Bahkan suhu tubuhku tidak lebih dari tiga puluh derajat celsius," jawab Kukuh.

"Pak, beras segitu banyak gak mungkin akan aku habiskan. Kalau ditimbun lama-lama, malah nanti ada kutunya. Mubadzir!" pekik Eci yang sangat tidak habis pikir dengan ulah Kukuh.

"Adi bilang cewek bukan hanya butuh cinta, tapi butuh beras. Sekarang aku sudah buktikan kalau aku bisa beliin kamu beras, bahkan setoko-tokonya," jawab Kukuh dengan bangga. Eci mengerang frutasi. Gadis itu menjambak rambutnya sendiri dengan kesal.

"Buat apa sih kamu membuktikan pada orang lain kalau kamu mampu? Biar kamu dikatain wah? Biar kamu dikatain kaya dan punya segalanya?" omel Eci menghentak-hentakkan kakinya.

"Kok kamu gak bersyukur banget, sih. Banyak cewek yang ingin disawer uang dan kebutuhan pokok, tapi kamu malah marah." Kukuh tak kalah mengomel. Jelas saja Kukuh sedikit kesal, bukannya terimakasih Eci malah memarah-marahinya.

"Bedakan kebutuhan dan gaya hidup. Kebutuhanku gak lebih satu kilo beras dalam sehari, Pak. Bapak beli segini banyak untuk membuktikan pada Mas Adi, kan? Bapak tuh gampang banget dibodohi. Kemarin dibodohi Kalvin soal bunga, sekarang terhasut lagi omongan Adi, besok bapak ngikutin aliran sesaat siapa lagi?" tanya Eci yang raut mukanya sudah ingin menangis saking kesalnya.

"Ribet banget jadi cewek. Gak ada beras dapur gak ngebul, ada beras banyak malah bingung habisin," maki Kukuh menekuk wajahnya. Kukuh berjalan tergesa-gesa dan mendudukkan dirinya dengan kasar di kursi teras Eci.

"Mbak, ini berasnya bagaimana?" tanya Pak Sopir yang sejak turun tadi melihat perdebatan Eci dan Kukuh. Sopir itu sungguh tidak enak dengan perempuan di hadapannya yang menurutnya adalah korban dari kebobrokan laki-laki yang tengah duduk di kursi teras.

"Ini sudah dibayar semuanya ya, Pak?" tanya Eci.

"Sudah lunas, Mbak. Biaya pengiriman juga sudah lunas," jawab pak Sopir itu.

"Ya sudah turun-turunkan di sini saja, pak!" titah Eci. Pak sopir itu memanggil dua anak buahnya untuk membantu menurunkan beras di teras Eci.

Beras kemasan lima kilo gram yang Eci tebak ada lima ratus lebih pack. Eci tidak bisa membayangkan berapa puluh juta yang dikeluarkan kukuh hanya untuk beras sau truck. Eci melirik Kukuh yang duduk di tempatnya dengan wajah yang masih cemberut, laki-laki itu rupanya ngambek.

Eci mengambil minuman vit c rasa jeruk di tas belanjaan yang sudah Kukuh letakkan di teras. Eci mendekati pria itu, menyerahkan sebotol minuman yang langsung disambar Kukuh.

"Yang harusnya marah itu aku, bukan kamu," ujar Eci. Kukuh tidak menanggapi, laki-laki itu dalam hati sudah niat konsisten untuk tidak berbicaa dengan Eci. Kukuh pernah membaca sebuah pepatah, tingkat tertinggi amarah adalah diam.

"Gak usah cemberut gitu. Nanti berasnya biar aku bagi-bagi ke warga sekitar. Kamu harus iklas, itung-itung sodakoh," ujar Eci lagi.

Kukuh masih diam, Eci mengedikkan bahunya acuh malas untuk membujuk. Sudah tua, tidak perlu dibujuk agar marahnya reda, pikir Eci. Nanti kalau Kukuh bosan pasti akan membuka mulutnya kembali.

Pelan-pelan, Mas!Where stories live. Discover now