48. Kembali ke Pangkuan Ibu

44 4 0
                                    


Setelah empat hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Kukuh diperbolehkan pulang. Saat ini Adi sudah menunggu kakaknya di depan ruang rawat sembari bersedakap dadaa. Adi disuruh ibunya menjemput kakaknya itu untuk pulang. Adi sudah iklas bila pemenangnya Kukuh, toh jikalau dia memaksa Eci belum tentu Eci akan bahagia. Katanya puncak mencintai paling tinggi adalah mengiklaskan, dan Adi sudah mengiklaskan Eci dengan kakaknya, tandanya cintanya juga tak kalah besar dengan Kukuh. Asal Eci bahagia Adi juga akan bahagia, meski di hati rada rada ada nyeseknya.

Di ruang rawat, Kukuh memakai kaosnya dengan cepat. Laki-laki itu sudah nampak sehat dari hari sebelumnya. Dia melihat Eci yang tengah merapikan barang-barang bawaannya, Eci dengan rambutnya yang dicepol asal membuat Kukuh hanya mampu menegug ludahnya kasar. Melihat leher belakang Eci saja sudah membuat Kukuh pengen ngendus.

"Pak, sudah yuk kita pulang!" ajak Eci. Satu perawat yang tadi menunggu mereka dengan membawa kursi roda pun langsung menghampiri Kukuh.

"Pak, silahkan duduk biar saya antar sampai ke depan," ucap perawat itu.

"Kamu pikir saya lumpuh pakai naik kursi roda?" tanya Kukuh dengan sewot.

"Ini sudah prosedur dari rumah sakit, Pak. Kalau pasien pulang akan diantar ke depan dengan kursi roda," jawab perawat senior itu. Perawat yang lain sudah kapok merawat Kukuh karena ketajaman lambenya.

"Maaf, Sus. Tidak apa-apa suami saya jalan saja, soalnya kalau dipaksa nanti kumat lagi tensinya," ujar Eci memberi pengertian. Kukuh memelototkan matanya tajam mendengar ucapan eci.

"Durhakim banget kamu jadi istri!" ucap Kukuh menusuk kening Eci dengan jari telunjuknya.

"Oh begitu ... baik saya permisi!" Perawat itu pamit undur diri yang langsung diangguki oleh Eci.

"Mau keluar rumah sakit sudah ngegas-ngegas, kamu mau sakit lagi?" tanya Eci menggenggam tangan Kukuh dan mengajaknya untuk keluar ruangan.

"Mas Adi sudah nungguin sejak tadi," tambah eci.

"Kamu jangan manggil Mas dong! Panggilnya Adi saja, karena dia calon adik ipar kamu," ujar Kukuh. Eci hanya menganggukkan kepalanya. Saat keluar dia melihat Adi yang bersedakap dadaa menungguinya.

"Adi, antar aku ke rumahku sendiri!" titah Kukuh.

"Ibu menyuruh mas untuk pulang ke rumah ibu," jawab Adi.

"Ke rumahku!" tegas Adi tidak mau dibantah.

"Pak, bapak kok durhakim banget jadi anak. Ibu sudah restuin hubungan kita, harusnya bapak berterimakasih dan pulang ke rumah," ucap Eci memberi pengertian Kukuh. Meski Eci dongkol dengan calon mertuanya, bagaimana pun juga Nainawati yang sudah melahirkan dan membesarkan Kukuh. Tidak etis kalau Eci mau anaknya doang tapi tidak dengan ibunya.

"Kalau begitu panggil dulu 'Mas Kukuh Sayang!" titah Kukuh pada Eci. Adi seketika memegangi perutnya yang sangat mual, Adi sungguh jijik mendengar ucapan Kukuh yang menurutnya sangat alay.

"Kenapa ekspresi kamu kayak gitu? Kamu mual sama ucapanku? Belum tau rasanya bucin, lihat saja kalau udah bucin kamu lebih parah dari aku," omel kukuh menonjok lengan Adi dengan kencang.

"Tau gitu dulu waktu kecil kamu kucemplungin ke kolam buaya milik tetangga," ujar Adi yang tak kalah mengomel.

"Sudah sudah kenapa malah bertengkar lagi sih?" tanya Eci dengan kesal.

"Itu si Adi. Kamu juga, kenapa kamu tetap memanggi, Pak? Panggil aku Mas Kukuh Sayang!" titah Kukuh.

"Tapi itu alay," protes Eci.

Pelan-pelan, Mas!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang