5. Kronologi.

2.2K 144 1
                                    

Happy reading.

o0o

Stefan masuk ke dalam rumahnya dengan santai seperti biasa. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan jari, Stefan juga bersiul seperti tengah bahagia. Entah apa yang membuat laki-laki itu begitu bahagia hingga kini wajah yang biasanya datar sekarang tersenyum penuh kemenangan.

Netra Stefan tertuju pada remaja laki-laki yang asik menonton tv dengan toples keripik di tangannya. Sepertinya dia belum mengetahui kehadiran Stefan. Stefan yang dari tadi hanya diam memilih pergi mendekat ke arah laki-laki yang usianya dua tahun di bawahnya.

"Heh bocah! Apa kerjamu hanya menonton tv saja?" Stefan berdiri didepan laki-laki itu dengan menatapnya sinis.

"Oh Arka, kau sudah pulang?" Tanyanya pada Stefan yang kini semakin menatap sengit lawan bicaranya.

"Stefan. S-t-e-f-a-n. Bukan Arka! Dan satu lagi, panggil aku Kakak!" Stefan menekan setiap hurufnya. Menegaskan jika dirinya tidak suka nama Arka selain Stefan. Selain itu remaja laki-laki ini tidak tahu sopan santun pada Stefan yang berstatus Kakaknya.

"Lalu, apa bedanya. Nama mu kan Stefan arkana."

"Kau ini adik ku atau bukan?! Kenapa sulit sekali untuk memberitahu mu." Stefan yang geram melihat tingkah adiknya memilih pergi berlalu. Ia tidak mau terkena darah tinggi diusia muda. Adiknya itu lebih menyebalkan dari pada wanita-wanita yang haus akan keinginan dekat dengannya.

"Hei! Jika saja aku bisa memilih, aku pasti tidak akan mau menjadi adikmu! Payah!"

Demi apapun Stefan ingin sekali menonjok wajah tampan milik adiknya. Jika saja kini mereka berada di lapangan luas dan bukan dirumah mungkin Stefan tidak sungkan untuk melakukan itu. Hanya adiknya lah yang berani mengumpati dirinya di depan Stefan langsung. Stefan berbalik dan kembali menuju ke arah adiknya yang kini menatap Stefan tak kalah sinis.

"Kau bilang apa barusan, Alex?" Tanya Stefan ketika sudah berada di depan Alex, adiknya.

Alex mengulum bibirnya tak berani untuk bicara lagi ketika kakaknya itu sudah menggulung lengan seragam sekolahnya ke pundak. Alex menggeleng. "Aku tidak mengatakan apapun."

Stefan menatap datar Alex yang kini tersenyum polos. "Terserah." Stefan meninggalkan ruang utama rumahnya. Dia jengkel sekali jika berada di dekat adiknya. Darahnya mendidih ketika mendengar Alex mengejek dirinya.

"Ngomong-ngomong, tanganmu kenapa? Kau seperti habis meninju sesuatu?"

Langkah kaki Stefan terhenti ketika pertanyaan yang keluar dari mulut Alex terlontar tanpa beban. Stefan lupa jika adiknya itu memiliki mulut seperti petasan. Pantang berhenti sebelum terisi makanan.

"Jangan sok tau!"

Alex mengangkat bahu acuh. Dia kembali menonton tv dan tidak memperhatikan Stefan yang kini masih berdiri di belakangnya. Alex sudah tidak heran lagi jika kakaknya itu berkelahi, sejak SMP kakaknya memang sudah memiliki jiwa-jiwa pemberontak. Bahkan Ayah mereka sampai bosan menerima panggilan dari sekolah Stefan.

Stefan menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya. Ia harus memakai perban di tangannya agar tidak terlihat oleh Ayah atau Ibunya. Bisa-bisa Stefan di buat mati kutu karena pertanyaan beruntun kedua orang tuanya. Mau seberengsek apapun dia, Stefan juga masih memiliki jiwa hormat pada orang tuanya. Terlebih pada sang Ibu.

o0o

"Alex, panggil kakakmu untuk makan malam," ujar seorang wanita paruh baya yang terlihat masih begitu cantik. Dia menatap putra bungsunya untuk melakukan apa yang ia perintahkan tadi.

Why You AgainWhere stories live. Discover now