16. Teka-teki.

516 37 0
                                    

Happy reading.

o0o

Stefan melangkah dengan santai di koridor sekolah. Laki-laki itu memasang wajah datar dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam saku celananya. Rambut klimis dengan sedikit berantakan membuat daya tarik seorang Stefan Arkana semakin kuat. Sayangnya, laki-laki itu selalu memasang tameng untuk membatasi dirinya dengan wanita.

Selama ini, Stefan enggan sekali berurusan dengan mahkluk bernama wanita. Seolah Stefan jijik jika harus berhadapan dengan sikap dan tingkah mereka yang seolah haus perhatian. Kembali lagi, Stefan tidak mungkin membenci ibunya kan? Itu berlaku untuk wanita yang terlalu memuja sosoknya.

Ana. Itu pengecualian. Stefan tidak bisa berhenti memikirkan gadis itu. Seolah Ana memiliki tambang kuat yang menarik dirinya. Perlu diketahui, jika Stefan bukan laki-laki yang romantis. Namun, jika dengan Ana, sikapnya berubah menjadi bucin. Ana, memang beda bagi Stefan.

"Stefan!"

Langkah Stefan yang ingin memasuki kelasnya terhenti ketika namanya di panggil. Dia menoleh, lalu tersenyum kecil saat melihat gadis-nya datang menghampiri.

"Ana, kenapa?" Tanya Stefan ketika Ana sudah berada di hadapannya. Gadis itu memasang wajah datar.

"Aku ingin bicara dengan mu."

Stefan menaikkan sebelah alisnya. Tumben sekali. Biasanya gadis itu selalu memasang tembok kokoh untuk dirinya. Stefan cemas, melihat mata Ana yang terlihat ketakukan, namun gadis itu menutupinya dengan wajah datar.

"Ya?"

"Jangan disini," ucap Ana. Ini pembicaraan yang serius, Ana tidak mau ada yang mendengar obrolan mereka.

Stefan mengangguk mengerti. "Baiklah. Kita bicara di taman istirahat nanti."

Ana mendengus. Kenapa tidak sekarang? Jam masuk masih lama. Entahlah, Ana tidak sabar untuk berbicara tentang kejadian itu. Dia yakin, Stefan mengetahui semuanya. Laki-laki itu hanya menutupi saja. Dan, Ana ingin tahu.

"Kenapa tidak sekarang?"

"Tidak. Nanti saja," kata Stefan dengan tersenyum tipis. Laki-laki itu lalu meninggalkan Ana, melangkah memasuki kelasnya. Sedangkan Ana hanya pasrah dan berbalik meninggalkan kelas itu.

Stefan duduk di kursinya. Disebelahnya ada Defano yang tengah membaca buku. Laki-laki itu terlihat serius sampai tak menyadari Stefan ada disampingnya. Lalu Stefan menoleh ke belakang. Terdapat Tyo yang sedang tidur, serta Ryan yang tengah bermain game online.

"Sudah perkembangan?" Tanya Stefan pada Defano.

Defano yang serius membaca buku, mengalihkan perhatiannya pada Stefan yang menatapnya datar. Defano menghela nafas, dia meletakkan bukunya ke dalam laci meja. Defano mengangkat bahu acuh.

"Belum," tutur Defano.

Stefan memejamkan matanya sejenak. Meredam rasa kesal yang tengah menggerogoti hatinya. Umpatan demi umpatan harus dia tahan. Tidak ingin berkata kotor dan merusak harinya yang masih pagi.

"Tidak ada jejak yang tertinggal, Stef. Mereka sangat licik."

Stefan mengangguk setuju. "Kau benar," kata Stefan. Lalu mata Stefan menatap tajam para gadis yang baru saja memasuki kelas dengan menatapnya genit. Melihat itu Stefan jadi tambah ingin muntah.

"Jangan menatap gadis seperti itu!" Ryan memukul pelan lengan Stefan.

Stefan memutar bola mata malas. Bukan salahnya, gadis itu tadi yang menatap genit ke arahnya. Stefan menatap Ryan yang tengah membuka bungkus permen karet.

Why You AgainWhere stories live. Discover now