06. Pindah Rumah

49 11 32
                                    


"Pilihan terbaik tidak pernah ada.
Yang ada, pilihan dengan resiko paling kecil yang bisa kita tanggung."

_WhatDoYouthink?_

※※※※※※※※※※※

"Kebiasaan jelek lo ini harus dirubah."

Sebuah handuk tersampir di kepala Sabilla. Gadis itu sama sekali tidak menoleh. Tetap diam menengadah menatap langit malam yang tidak bertabur bintang.

Deri, pemuda itu sebenarnya bisa saja membantu Sabilla mengeringkan rambutnya, seperti yang selalu dia lakukan dulu. Hanya saja dengan status mereka yang sekarang akan menimbulkan kecanggungan semakin menggejolak.

"Gimana kuliah lo? Beneran mau jadi tukang gambar bangunan?"

Deri tertawa pelan tanpa suara lalu menoleh pada gadis yang baru saja mengutarakan tanya.

"Nama kerennya arsitek, Sa," Menyandarkan punggung pada tiang gazebo, Deri duduk bersila tepat menghadap Sabilla. "Semua lancar. Lo mau lihat desain proyek gue?"

"No."

Tanpa tendeng aling, Sabilla menjawab. Deri tidak tersinggung, justru inilah Sabilla Lituhayu yang dia kenal. Spontan, lugas dan tahu apa yang dia inginkan. Bahkan kerap kali Deri berpikir kalau Sabilla terlalu cepat dewasa dibanding gadis-gadis sebayanya.

"Masih marah soal tadi siang?"

Sabilla menghela napas, butuh melewati beberapa menit untuk ia akhirnya bersedia menatap Deri. Mengingat kembali atas apa yang pemuda itu sampaikan di meja makan tadi pagi.

Berita tidak menyenangkan yang hanya memberi dua pilihan, pindah rumah atau pindah negara tinggal.

Alasan utamanya adalah masa sewa rumah yang mereka tempati ini telah jatuh tempo dan tidak diperbarui. Karena tidak ada yang menduga Sabilla akan memutuskan tinggal bersama Eyang dan bersekolah di sana.

Sebenarnya Sabilla bisa saja meminta Papa menikung penyewa baru--membayar uang ganti lebih besar, tapi ia tidak melakukannya. Satu nasehat Eyang aki menahan.

Pria tua itu dulu mengatakan jika, "tidak baik mengingini sesuatu hingga mengabaikan hak orang lain yang lebih dulu mempunyai hak". Perkataan yang sama sekali tak berniat Sabilla ingat tapi justru tertanam di benaknya.

"Nggak ada gunanya."

Sabilla mengambil cup pop mie yang tak jauh dari punggungnya. Mulai menikmati seduhan makanan instan itu tanpa terganggu sedikitpun untuk menawari Deri.

"Kaki elo kenapa?" Deri mengambil kaki kanan Sabilla. Mengamati salah satu jarinya yang terbalut kain kasa. Sabilla berusaha menarik, tapi Deri menahan dan malah melepas balutan itu.

"Kenapa bisa begini?"

"Sepatu ilang. Shht--jangan di tekan!" Sabilla menggeram tertahan pada sengatan perih akibat Deri menekan lukanya.

"Robekkannya kecil tapi ada potongan yang tersisa di dalam."

"Tau. Makanya besok mau ke Mbak Agis."

"Mba Agis dokter hewan, Sa."

"Dia bisa mengobati luka ringan segala jenis makhluk hidup."

Deri mendengus pada guyonan tidak lucu itu. Bisa-bisanya gadis ini begitu santai sedang di bawah lapisan kuku jari kakinya yang robek tertanam benda asing.

Deri bergeser maju, menarik kotak obat di samping Sabilla. Dia melirik sekilas, gadis itu masih anteng mengunyah.

Menempatkan kaki Sabilla pada pangkuannya, Deri menuang alkohol pada kapas lalu dengan telaten membersihkan luka Sabilla. Sedangkan yang dilakukan Sabilla hanya menatapi pemuda berkulit sawo matang ini tanpa berniat menghentikannya. Percuma juga. Lebih baik dia menikmati seduhan mie instannya sebelum mulai dingin dan menghilangkan esensi kenikmatannya. Mengabaikan rasa tak nyaman yang timbul tiap kali kapas itu mengenai permukaan luka.

Tied UpWhere stories live. Discover now