25. Crash

32 8 17
                                    

"Aku tidak akan mencari monster dalam wujud dirimu. Karena monster, sejatinya sudah berada dalam setiap jiwa."

※※※※※※※※※※

'Zhep!'

'Zhep!'

Muntahan peluru senapan tertanam tepat pada titik vital objek tembak. Bising suara kenalpot motor trail yang memekakkan telinga-- meraung pongah, melaju kencang bagai akrobatik terlatih.

Dan motor tinggi ramping itu berada dalam kendali seorang Amarendra Haris.

Benar, pemuda itu baru saja menunjukan aksi menembak dari atas motor, sesuai permintaan Sabilla.

Awal hari tadi, gadis itu terbangun lebih cepat dari seharusnya. Sabilla bangun dengan keadaan wajah sembab sisa tangis semalam.

"Tidur lagi?" Amar menyambutnya dengan senyum hangat.

Sabilla menggeleng, "Biasanya lo kemana kalau lagi adrenalin tinggi dan butuh pelampiasan?"

Amar terdiam sesaat, untuk memahami benar ucapan kekasihnya, "Motoran."

"Balapan?"

"Bukan."

"Bawa gue mau ke sana."

Dan setelah menempuh perjalanan dua jam lamanya, mereka tiba di tujuan. Tempat ternak kuda pacu. Salah satu properti milik keluarga Amar, yang juga menyediakan arena latihan tembak dan panahan.

Sabilla bertepuk tangan dan tersenyum menunjukan jejeran rapi gigi putihnya. Senyum mahal, kalau kata Ethan.

Gadis yang hari ini mengamankan asal rambutnya dengan jedai itu, menghampiri Amar dengan langkah ringan.

"16 dari 20, Tuan."

"Terima kasih, Pak." Amar menyerahkan senapan di tangan pada seorang lelaki paruh baya yang mendampingi mereka.

"Ajari gue nembak, Kak."

"I love you too, Sabilla."

"Ck! Bukan itu. Tapi pake senapan, naik motor ini."

"No," tolak Amar seraya melepas helm.

"Ajarin gue!"

"Ayo belajar tembak. Tapi nggak dulu buat motornya."

Sabilla berdecak, menatap tak terima.

"Lo kan nyetir motor metik aja belum lancar, Yang."

Sabilla maju dua langkah, diraihnya bagian depan kaos Amar dan berjinjit.

"Bahaya. La--"

Tubuh Amar menegang. Sebelah tangannya secara otomatis melingkari pinggang ramping Sabilla, menariknya mendekat.

Amar sungguh tak menduga Sabilla mengambil tindakkan seberani ini. Mengajaknya 'olah raga' bibir di latar terbuka.

"Ajarin gue," desah Sabilla, Amar menggeram. Dia kalah telak.

"Lo nakal."

"Tapi lo suka."

"Sangat," balasnya mengecup sekilas bibir bawah Sabilla. Sebelum ibu jarinya merapikan sisa 'pertempuran' mereka.

"Boleh 'kan?"

Anggukan kepala Amar membawa senyum antusias Sabilla.

Menurut Amar biarlah hari ini Sabilla melakukan apapun yang dia mau. Meluapkan kesedihan yang tak bisa gadis itu ungkap pada kata ataupun tangis.

Tied UpWhere stories live. Discover now