33. BBD

18 4 4
                                    

Beautiful Before Disaster

"Sometimes I wanna be a different person
I wanna know the feeling
If only for a minute

'Cause lately I've been running 'round in circles
You used to know me better
Somehow, we're still together"

_Torine_

===============

Sabilla merasa hari-hari semakin cepat pergantiannya. Seakan hanya dalam sekali putaran jam, lalu satu hari pun berlalu begitu saja. Entah saking menikmati terpangkasnya usia seiring gulir detiknya atau memang sistem kalibrasi waktu kini diubah, terbagi menjadi 12 jam perhari.

Pemikiran-pemikiran itu terjadi karena sedari tadi tak ada hal berarti dilakukan dirinya selain duduk 'nganggur' memainkan gitar hitam milik Amar, seraya mengamati suasana luar dari jendela ruang keluarga rumah Shaka. Akan tetapi ajaibnya, jam klasik di dinding berwarna platinum grey menunjukan sudah 85 menit berlalu sejak dia menempatkan bokongnya di sana.

Omong-omong soal rumah Shaka, Sabilla sudah pernah katakan sebelumnya jika dia tidak keberatan kalau diikuti anak buah Alfarezi- yang masih juga tidak bisa menemukan keberadaan Rapunzel mereka. Mungkin kalau dihitung sudah memasuki hari ke-empat orang-orang itu bekerja dengan nol hasil.

Risi? Biasa saja. Toh, sedari kecil dia sudah akrab dengan hal semacam ini. Ya kalau diibaratkan minum obat semacam efek sampingnya. Efek samping terlahir sebagai anggota keluarga Abdullah.

Tetapi diantara semua tingkah orang-orang Alfarezi- satu yang paling membuat Sabilla tidak senang. Yaitu ketika para penguntit itu mulai tertarik pada penghuni rumah ini. Kirana dan Amar.

"Doyan banget ngelamun, Yang!"

Wajah Sabilla terdorong ke samping, saat Amar mendaratkan bibir di pipinya.

"Sore," cengiran Amar lebar terbentuk. Remaja lelaki itu tampak lebih segar. Tidak seperti seperempat jam lalu sewaktu Amar baru tiba di rumah berbalut seragam kusut SMA Gandari yang sebentar lagi akan dilepasnya.

"Mau?" Sabilla menawarkan jus semangka miliknya, dan langsung tandas saat itu juga oleh Amar. Sepertinya kekasihnya ini memang kelaparan.

"Kiran ke mana, Yang? Gue cari di kamarnya nggak ada."

Sabilla mengarahkan tangannya bergeser beberapa derajat dari tempat mereka.

"Ya ampun... Padahal pulang tadi gue sempet duduk di sini, tapi nggak ngeh." Amar menggeleng geli sekaligus tidak percaya, mendapati sepasang kaki melintang di bawah meja.

"Ini anak punya kandang sendiri, tetep aja suka glepar sembarangan."

"Dia berasa lagi kemping kalau tiduran di kolongan gitu," sahut Sabilla. Mau bagaimana lagi, Kirana sendiri yang memilih lokasi untuk tidur sorenya. Hingga kini tubuh gadis itu sudah mepet di bawah meja.

"Ngelamunin apa tadi?" Amar merangkul Sabilla. Gadisnya itu kembali abai dan asik memainkan gitar.

"Bukan ngelamun. Cuma lagi mastiin aja gue nggak sedang terjebak di dunia fairy tale."

"Gimana?" Amar mengerjap bingung. Takut-takut telinganya salah dengar. Tidak biasanya.

"Gue ngerasa belakangan semua alur hidup gue berjalan terlalu lancar," Sabilla menggedikkan bahu. Menghentikan petikan gitar dan menatap intens pada Amar.

"Jangan-jangan selama ini gue hidup di dunia ciptaan orang lain? Semacam Webtoon, kartun apa Manga gitu. Jadi si gadis beruntung dari negri dongeng. Punya kekasih tampan, setia dan mengsultan. Tapi sayangnya, dia makhluk astral berusia puluhan ribu tahun."

Tied UpWhere stories live. Discover now