29. Wonder

16 7 13
                                    

"Tiap tindakan selalu ada resiko. Dan untuk meminimalisir negatifnya, tentu setiap sikap yang diambil harus memilik rasio tepat.

Meski kadang, nurani selalu tergoda mengambil sikap tanpa mempertimbangkan sebab dan akibatnya."

==========

Amarendra Haris marah.

Tahu kenapa? Semua karena Sabilla.

Gadis itu ketahuan berbohong soal janji masak bersama-yang tak sengaja Zeta konfirmasikan pada Amar bahwa rencana itu batal sejak tadi pagi.

Parahnya Sabilla sama sekali tidak memberi Amar kabar. Saat dihubungi pun, ponselnya justru tidak aktif.

Eyang Lia dan Eyang Inu menghibur Amar, mengatakan agar tidak panik sebab Sabilla pasti kembali.

Untuk satu, dua jam mungkin Amar bisa. Tapi ini, dari posisi matahari masih tepat berada di atas kepala hingga sekarang sudah kembali keperaduan-Sabilla belum juga pulang.

Dan penantian itu baru berakhir saat jam dinding menunjukkan pukul tujuh tepat.

Jadi, tidak berlebihan kan kalau dia marah?

"Gue baru tahu nama lo ganti jadi Zeta."

Senopati, teman sekaligus ketua kelas Sabilla berdiri canggung. Kakinya seolah terpaku di tempat mendapati tatapan sedemikan rupa dari Amar.

Setiap penghuni SMA Gandari dan orang-orang yang mengenal sejoli ini tahu pasti, Amarendra Haris itu posesif akut menyangkut Sabilla. Bakal ribet kalau sampai berurusan dengan tema satu itu.

Akan tetapi Seno merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Selain memberikan tumpangan pada Sabilla, yang kebetulan dia temukan di halte sewaktu pulang dari rumah kakaknya. Dia antar Sabilla pulang juga dalam keadaan baik-baik nan utuh. Tidak dia apa-apakan. Lalu letak salahnya dimana, njir?!

"Dia nggak tahu apa-apa, Kak."

"Sekarang lo belain dia? Waw, impresif!" kata Amar datar.

Menghela nafas pelan, Sabilla segera meminta Seno keluar dari dapur meninggalkan mereka.

"Mau kemana?" Cegah Sabilla menahan lengan Amar, ketika pemuda itu juga berniat meninggalkannya. "Sumber kekesalan lo itu gue, kita perlu bicara."

"Kalau begitu bicara!" Amar menarik tangannya, membuang wajah dengan rahang mengeras.

Mendapati respon demikian, Sabilla tersenyum maklum. Salahnya telah ceroboh. Memang benar kata pepatah; sepandai-pandainya tupai melompat, ada waktunya dia kepeleset jua.

"Ngapain ke kamar? Katanya mau bicara."

"Gue nggak yakin bisa nyaman bicara di dapur. Orang-orang terus bolak balik kaya petugas ronda."

Sabilla berbicara dengan kakinya tetap melewati titian anak tangga menuju lantai atas. Genggaman tangannya pada tangan Amar pun tak diberi kendor. Toh, walau tengah merajuk Amar tak menolak dia gandeng.

"Nih, minum."

Segelas air putih Sabilla sodorkan setelah sebelumnya mendudukkan Amar di sofa. Sedang dirinya beralih menuju lemari pakaian. Sekujur tubuhnya lengket. Jeda ini Sabilla ambil bukan semata-mata agar emosi Amar lebih stabil tapi pula untuk dirinya yang sama berantakan.

"Kita bicara sekarang."

"Gue mandi dulu, baru bicara," jawab Sabilla masih berkutat di depan lemari yang terbuka.

'Tak'

Suara nyaring akibat benturan antara gelas dengan meja keramik membuat Sabilla menoleh.

Tied UpWhere stories live. Discover now