26. Kind Of Deep Talk

23 6 12
                                    


"Logika menuai tanya, ketika gostingan didewakan jadi fakta. Lalu hasrat dan insting bertarung berebut tahta."

==============================

Asing. Kata itu menggambarkan suasana kamar yang biasanya selalu memberi rasa nyaman, kini justru berganti ketegangan dalam detik penantian. Kamar dari pemuda yang Sabilla rindukan tawa dan binar hangat matanya yang jenaka.

"Gimana?" tanya itu terlontar pada gadis ayu di samping ranjang.

"Dalam 4 jam ini sudah ada tiga kali pergerakkan dari jari tangannya."

"Pemalas!"

"Jaga bicaramu!" Desis tajam itu melahirkan seringai kecil di bibir Sabilla.

"Kok, Oma marah? Kan aku bicara sesuai fakta. Dia cucu tertua, laki-laki pula. Harusnya dia berusaha lebih keras. Apa nggak cape cosplay jadi mayat Romeo?" lanjut Sabilla mencubit pelan pipi pucat tirus milik pemuda yang masih betah terbaring memejamkan mata.

Tahu apa yang terjadi setelahnya? Tepat, Maya Erlangga mengamuk.

"Keluar Sabilla!"

Pengusiran itu tidak diindahkan. Biarlah Sabilla disebut kurang ajar karena sering kali sengaja mendebat wanita tua yang berstatus sebagai Oma-nya ini. Mau bagaimana lagi, lewat jalur cucu baik dan bertatakrama tinggi-- sudah buntu. And that's not my style. Bisa stres duluan kalau harus ambil jalan itu.

Sabilla mengalih perhatian pada gadis yang sedari tadi sibuk dengan buku catatan di tangan. Sedikitpun tak terusik dengan debat kusir diantara dirinya dan Maya Erlangga.

Aryen Riyani Widji.

Dokter muda sukses sekaligus gadis yang digadang menjadi calon pendamping Deri. Orang yang secara pribadi Sabilla pinta untuk menjadi dokter pribadi sang kakak.

"Besok ada orang yang datang buat bantu. Cek datanya di e-mail pribadi lo," ucap Sabilla tanpa mau repot-repot menyebut nama atau memberi panggilan lebih sopan-- mengabaikan paut usia mereka.

"Siapa? Kamu jangan membahayakan nyawa Deri!"

Astaga wanita ini, apa dia tidak sakit tenggorokan?

"Hanya tukang ledeng. Saraf cucu Oma sepertinya agak tersumbat makanya nggak bangun-bangun," jawab Sabilla sambil lalu. Saat satu kakinya sudah berada di luar pintu, Sabilla menengok.

"Dan berhentilah berteriak, Oma. Jika tidak ingin pita suara Oma berganti tuas silikon."

"Kurang ajar!"

Umpatan itu teredam seiring tertutupnya pintu di belakang punggung Sabilla. Belum sempat menikmati euforia kesenangannya lebih lama, wajah keruh Papanya dan Eyang Inu menyambut.

"Berhentilah menguji kesabarannya, Bear. Ketidak stabilan emosi kurang baik bagi pengidap darah tinggi."

"Eyang tenang saja, justru ini terapi," kata Sabilla melantur.

"Bear, ini bukan saatnya bercanda," Luigi menyela.

Sabilla paham. Bahkan sejak pertama melihat map merah dengan logo yang dia kenal hadir bersama dua lelaki kesayangannya. Dia tahu, ada hal serius.

"Makanya, ayo, kita bicara di tempat lain. Wanita tua di dalam sana masih saja berteriak."

Luigi menghela nafas pasrah. Berjalan dengan putrinya dalam rangkulan.

Tied UpDonde viven las historias. Descúbrelo ahora