28. Konfrontasi

26 6 11
                                    

"Setiap laku memiliki harga, sekalipun dilakukan suka rela alias gratis. Dan harga itu tak melulu berbilang pada nominal, sesuatu bernama "Royalitas" tak mampu ditukar nilai."

==========

"Sabilla?"

Raut kaget penuh keheranan Syifa sudah Sabilla perkirakan sebelum dirinya tiba di rumah mewah bertingkat tiga, bergaya Mediterania Eropa ini.

Tadi asisten rumah tangga yang membukakan pintu pun tak jauh berbeda. Memberi tatatapan heran penuh curiga, seakan dia hendak melakukan apa-apa. Padahal kan memang iya.

Akan tetapi wanita paruh baya itu tak menanyai apa-apa, selain terang-terangan bertukar kode dengan dua lelaki yang membersamai Sabilla-lantas menggiringnya ke ruang tamu menunggu si nona tuan rumah.

"Gue kepagian? Sorry."

"Ehhh, nggak. Nggak papa," jawab Syifa terbata. "Cuma kaget aja, soalnya Ze bilang baru jalan. Gue kira lo bareng dia."

Syifa mendekat. Gadis itu masih berbalut piyama satin berwarna magenta. Tidak salah jika banyak yang memuja gadis ini cantik, Syifa memang ayu. Walau kini dia tampil tanpa riasan atau style fashion mewahnya.

"Lo udah sarapan? Sarapan di sini ya, gue minta Bibi buatin."

"Nggak usah," jawab Sabilla singkat. Kepalanya menengok kanan-kiri, mengedarkan pandangan, mencermati seisi ruangan.

"Rumah lo bagus, tapi sepi banget. Yang lain kemana?"

Syifa terdiam sejenak, wajahnya menampilkan senyum sendu. "Gue anak tunggal dan orang tua gue udah meninggal sejak gue kelas satu SMP. Di rumah ini gue tinggal sama adik Papa gue. Dan ya, lo juga udah kenal beliau kan?"

Sabilla mengangguk kecil, "Sorry, nggak maksud buat angkat topik sesensitif gini."

"Santai aja."

Setelahnya Syifa mempersilahkan Sabilla menikmati minuman yang baru saja diantar. Gadis itu menggunakan topik belajar masak- kegiatan yang rencananya akan mereka lakukan hari ini- untuk memulai obrolan.

Syifa berusaha keras untuk tidak terlihat canggung. Sebab selama ini mereka tak pernah secara langsung ngobrol berdua, selalu ada Zeta.

Jadi mumpung ada kesempatan, Syifa sekalian ingin membuktikan kalau dia tidak ada niat buruk seperti gosip yang beredar. Yaa walau belum bisa dikatakan jika dirinya sudah move-on sepenuhnya. Tapi dia menerima dan sadar, kalau hati Amar hanya ada Sabilla.

Sekarang Syifa hanya ingin bisa menemukan lingkup pertemanan yang menerimanya, bukan karena dia adalah keponakan orang berpengaruh. Tapi sebagai dirinya.

Dan ajaibnya, Syifa merasakan itu bersama Sabilla. Meski keduanya lebih sering terlibat dalam situasi tak mengenakkan.

"Baru kali ini kamu ajak temen ke rumah, Fa."

Syifa berdiri, disusul Sabilla kemudian. Mereka berdua menyambut kehadiran Alfarezi dengan pandangan berbeda.

"Iya, Om. Ini Sabilla, masih ada satu lagi sih, Zeta. Tapi dia belum datang."

Menyaksikan keakraban keduanya, Sabilla benar-benar mual. Entah bagaimana respon Syifa jikalau sudah mengetahui bahwa pria yang kini dia peluk penuh sayang, dijadikannya tumpuan bermanja adalah dalang utama di balik nasibnya yang menjadi yatim piatu.

"真希望 她是單純不知道,不是装傻," bisik batin Sabilla miris.

(zhēn xīwàng, tā shì dānchún bù zhīdào, bùshì zhuāng shǎ : semoga dia memang benar-benar tidak tahu, bukan berpura-pura bodoh.)

Tied UpWhere stories live. Discover now