35. Captive

46 5 9
                                    


"Tied up, when I'm awake so I got to be
Dancing in my sleep
Even when life gets the better of me
I just try to breathe
There's a lesson that I've got to learn
One day I will get my turn
But for right now I've got to be
Dancing in my sleep"

_Torine_

===============

Terang cahaya matahari menerobos kaca jendela, memapar langsung pada sebingkai wajah ayu dengan pipi tirus kemerahan. Memaksa sepasang iris hitam di bawah naungan bulu mata lebat serta lentik itu terbuka menyambut sapaan mentari pagi.

Dua netra legam mengerjap perlahan. Punggungnya perlahan menjauhi permukaan ranjang, duduk tegak mencermati sekeliling.

Ini ... di mana?

Sabilla ingat, semalam ketika jam besuk berakhir, pelukan orang-orang tersayangnya menjadi pengantar sebelum lelap.

Jelas pula dalam memorinya kalau langit-langit kamar ia dirawat berplafon gypsum bukan ceramic yang dikelilingi ukiran kayu. Apalagi mamakai pengharum ruangan beraroma lemon.

Gadis itu mengambil gerakkan, namun niatannya menuruni ranjang terhenti ketika suara gemerincing bersumber dari rangkaian metal yang melilit tangan dan kakinya mengambil atensi.

Detik bergulir seiring kesadarannya mulai terkumpul, memunculkan pembenaran dari situasi asing dan menyalakan alarm bahaya di kepala.

Dia diculik, itu keadaan paling benar.

Meski keadaannya benar-benar tidak menguntungkan, Sabilla mencoba berpikir tenang. Sebab kepanikan tidak akan berguna di situasi seperti ini. Apalagi di sekitarnya tidak terlihat keberadaan ponsel atau alat komunikasi apapun yang dapat digunakan untuk menghubungi orang rumah maupun meminta pertolongan. Benar-benar hanya ada dirinya dan baju pasien yang melekat.

Namun setidaknya- sampai saat ini -dia terbilang masih cukup beruntung. Sebab selain terbangun di tempat asing dengan keadaan tangan dan kaki di rantai, kamar tempat ia disekap cukup nyaman dan bersih. Kasurnya juga empuk.

Brak!

Segala pikiran Sabilla dan keheningan kamar dipatahkan oleh dobrakan pintu yang terbuka kasar sampai membentur dinding.

Sabilla sigap, menatap waspada sosok jelmaan iblis yang berdiri di mulut pintu. Tersenyum menjijikan.

"Tamu kita sudah bangun rupanya. Selamat pagi!"

Alfarezi mendekat dengan membawa satu nampan dan benda berkilau di tangannya.

Bukan sendok melainkan pisau. Mata pisaunya yang runcing menembus bagian tengah buah apel, menghasilkan kilatan terang saat terkena paparan lampu.

"Bagaimana tidurnya, nyenyak?"

Sabilla bergeser menghindar saat tangan Alfarezi terulur hendak mengusap kepalanya. Bukannya tersinggung, pria gila yang haus akan harta dan tahta itu justru tertawa.

"Keras kepalamu ini mirip sekali dengan Gritte," ucapnya menepuk-nepuk pipi Sabilla, mengindahkan tatapan terusik gadis itu. "Kau tahu? Ibumu itu adalah adik kelasku. Dia paling cerdas di angakataanya sewaktu SMA. Tetapi bagiku dia bodoh, karena menolak saat aku menawarinya kesenangan. Malahan dia jadi gadis pertama dan satu-satunya yang berani mencampakkanku."

Sabilla tentu mengerti yang dimaksud kesenangan oleh Alfarezi tidak jauh-jauh dari minuman keras, narkotika juga seks bebas. Dan ucapannya barusan membuktikan pria ini memang sudah berengsek sedari masih tunas.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 13, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tied UpWhere stories live. Discover now