19. Her Family

27 10 22
                                    

"Ketika menyangkut orang yang kita sayangi. Kadang semua kita relakan, kita beri toleransi sebanyak-banyaknya, menjadikannya prioritas di atas segalanya.

Tapi, benarkah yang seperti itu layak disebut rasa kasih sayang?"

※※※※※※※※※※

Sabilla tak pernah menyangka dia yang semalam baru tiba di apartmen sang Papa di Singapore-- pukul 9 pagi hari ini, mereka sudah berada di perjalanan menuju salah satu tempat wisata di kota Bandung.

Semuanya berawal dari perubahan tempat pertemuan yang mendadak diajukan oleh tertua Erlangga.

Andai Doraemon buka sewa pintu ajaib, udah gue tekontek dari kapan lalu.

Disambut sebuah gapura tempat pembelian tiket, mobil memasuki jalan dengan jalur satu arah. Berhubung tempat wisata ini memang mengusung tema private camping family, maka tak heran, trek jalannya pun tidak terlalu besar-- khusus mobil keluarga saja. Apalagi dengar-dengar info dari Deri, tempat ini hanya menerima maksimal 65 orang pengunjung dalam sekali reservasi.

Sabilla sengaja membuka sebagian kaca jendela untuk menikmati kesejukan dan keindahan panorama alam yang ditawarkan.

Kanan kiri jalan diapit oleh tingginya pohon-pohon serta semak yang di biarkan tumbuh mempertahankan keasrian tempat.

Seiring jalanan yang makin menanjak, perbedaan suhu udara semakin terasa. Di tambah cuaca mendung membuat sejuknya udara pegunungan terasa dingin membelai kulit wajah.

Tak ingin mencari penyakit, Sabilla menutup kaca jendela dan mengusap-ngusap pipi wajahnya yang sedikit kaku. Di bangku belakang Papanya dan Gayatri masih lelap. Sebugar apapun tubuh sang Papa, rasa lelah tidak pernah pandang bulu. Dan itu juga berlaku untuk pemuda di sampingnya, yang sesekali terlihat menguap di balik kemudi.

"Bentar lagi sampe, sabar ya," ucap Deri mengusak puncak kepala Sabilla.

"Hm."

Seraya menikmati profile samping wajah Deri, Sabilla berpikir-- tentang perasaannya pada pemuda ini dan
seseorang pemuda lain yang menjabat sebagai kekasihnya.

Perlakuan Deri membuatnya nyaman, terlindungi dan selalu diprioritaskan. Sedang bersama Amar, dia merasa ... normal. Melakukan apapun yang dia suka, eksperimen hal baru. Menikmati gejolak masa muda.

Dan setelah sekian waktu mereka habiskan dalam kebersamaan, jelas kedua rasa itu berbeda.

"Lo memikirkan pertemuan dengan Oma dan Opa nanti?" tanya Deri menyadari ketermenungan Sabilla. "Gak perlu khawatir. Gue rasa mereka mulai tertarik sama elo, Sa. Beberapa kali, meski gak terlalu terang-terangan mereka kepoin soal elo."

Sabilla meringis kecil. Tak sanggup berkata jujur dengan segala kebimbangan dalam kepala.

👟👟👟


"Kenapa dia di sini?" Nada sinis itu berasal dari perempuan parubaya yang sedang Deri salami. Maya Erlangga.

"Oh, Hai Oma, Opa!" sapa Sabilla santai, acuh pada tatapan tak bersahabat dari orang tua Gritte itu.

Tak seperti Deri, Sabilla menyelonong melewati mereka. Menuju meja panjang yang di naungi tenda dan duduk mengisi tempat tengah-tengah Eyang Lia dan Eyang Inu. Memeluk mereka penuh kerinduan.

Benar, ini liburan keluarga-- tepatnya keluarga inti. Sebenarnya hanya judulnya saja liburan, mereka di sini untuk membicarakan sesuatu amat penting yang menyangkut kedua belah pihak keluarga. Yaitu tentang pelaku pemerkosa Gritte.

Tied UpWhere stories live. Discover now