Size 1: Destruction

12.3K 3.1K 1.2K
                                    

Destruction artinya penghancuran.

Di chapter ini hidup Liona benar-benar hancur, berubah menjadi gelap, seperti warna di cover cerita ini. Hitam.

 Hitam

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

~oOo~

“Pah, jangan, Pah! Liona mohon, jangan!” pinta seorang gadis dengan wajah penuh permohonan. Air mata berlinang dan kerutan di kening yang menandakan rasa gelisah bercampur takut.

“Gara-gara ini kamu jadi bodoh, Liona! Koleksi semua ini nggak buat kamu jadi anak pintar!” bentak pria paruh baya—Putra Vibasta, sembari memasukkan secara paksa koleksi-koleksi anaknya ke trash bag hitam.

Koleksi tersebut berupa: album idola, novel, lightstick, boneka, poster, photobook, dan photocard dengan tanda tangan sekaligus.

Papanya yang terlihat amat marah hendak membuang semua barang itu. Untuk mempercepat waktu, ia menyapu dengan lengan hingga semua barang itu jatuh dari meja, serta mengambil semua novel dari rak buku.

Suasananya benar-benar kacau. Suara bising dari koleksi berjatuhan, tangisan seorang gadis, dan teriakan pria itu mengundang tetangga keluar rumah dari kesibukan masing-masing.

“T-tapi ini semua pakai uang Liona, Pah! Liona nabung buat ini ....” Ia berkali-kali mencoba menghentikan aksi Vibasta, tetapi tangannya ditepis keras.

Gadis itu berusaha mengembalikan ke tempat semula, tetapi papanya malah membanting barang itu menjadi hancur, lalu memasukkan kembali ke kantong.

“Buat apa, Liona? Lebih bagus lagi tabunganmu itu buat beli buku lain! Bukan koleksi nggak berguna ini!” Ia menunjukkan sebuah novel cukup tebal, lalu dirinya merobek semua lembaran, dan dengan kepalan membuatnya jadi gumpalan kertas.

Bagi Liona, bukan hanya novel itu yang robek, hatinya pun ikut robek melihat koleksinya hancur. Semuanya remuk tepat di depan mata.

Ia merintih, “Pah ..., Liona beli novel itu ada gunanya, Pah .... Liona beli novel itu nggak buat koleksi doang, Pah, tap—”

“Terus beli foto ini ada gunanya? Ini malah buat otakmu jadi berhalusinasi, Liona!” tegasnya memotong ucapan, ia menunjukkan sebuah photocard bergambar pria tampan yang sedang tersenyum tulus.

Dirobeknya foto itu, dengan kasar juga dirinya melepas poster-poster yang menempel di dinding, ditumpuk menjadi satu, kemudian dirobek kencang.

“Cuma ini yang buat Liona bahagia, Pah ....” Ia menatap mata papanya lebih serius, bahkan dirinya bertekuk lutut, menunduk, dan memegang sepasang kakinya.

“Tapi kebahagianmu itu ngerusak dirimu, Liona. Lihat ini ...,” Ia mengambil kertas KHS dan melempar ke wajah Liona, “nilai-nilaimu buruk. Papah jadi heran, semenjak kamu suka sama ini semua, kamu jadi sering koleksi sebanyak ini ...! Sadar! Kamu dulu itu pintar! Kenapa bisa anjlok?! Kamu tahu, kan, ini semua harganya mahal, kan?” tanyanya dengan nada lebih keras, tatapan mematikan, mengetuk-ketuk kepala anaknya, serta mengangkat trash bag yang terisi penuh.

Gadis itu menelan ludah. “Li-Liona tahu, Pah, semua ini mahal, t-tapi Liona .., Liona nggak pernah minta uang Papah, semuanya ini ha-hasil tabungan Liona, Pah ....” Aliran air mata membasahi celananya, ia tak peduli helaian rambut basah yang mengganggu wajahnya, Liona memeluk erat agar papanya tak bisa bergerak untuk membuang kantong tersebut.

“Tapi ada hal yang lebih bermanfaat daripada membeli barang-barang ini, kan, Eliona?”

Liona diam. Tak sanggup angkat suara, ia menangis sesenggukan serta berbatuk akibat tenggorokan kering.

“Papah mau bakar semua ini,” ucapnya dengan nada netral, tetapi membuat jantung Liona seperti ditonjok tiba-tiba.

Ia mendongak. “Ba-bakar? P-Papah jangan bercanda, Pah! Liona nggak mau, ini punya Liona, Papah nggak punya hak bakar barang milik Liona! Papah bakar ini sama aja nggak menghargai kerja keras mereka!” larangnya sembari berdiri dan mencoba mengambil kantong plastik itu.

Vibasta menggenggam tangan putrinya serta menyingkirkan kantong tadi. “Tau apa kamu soal menghargai? Buat nilai tinggi aja nggak bisa! Udah berani bentak Papah, siapa yang mendidikmu sampai jadi goblok kayak gini? Otak kamu itu dah teracuni gara-gara ini semua!” Ia menghardik, membuat Liona menunduk takut dengan tatapan garang pria di depannya.

Gadis itu memandang lantai keramik, air matanya sukar untuk berhenti. “T-tapi jangan dibakar, Pah ..., Liona mohon .... Liona janji nggak koleksi lagi, nggak bakal baca novel lagi. Liona mohon, Papah jangan bakar semua ini ....” Liona memegang lengan papanya yang kini berjalan hendak menuju halaman depan rumah.

“Papah nggak percaya sama janjimu itu. Papa bakal bakar sekarang.”

“Seburuk itu koleksi ini di mata Papah? Apa pun, Pah ..., apa pun itu Liona bakal lakuin asalkan jangan bakar ini. Liona minta maaf ....”

Kini mereka berada di dekat pintu utama, Vibasta berhenti, lalu berbalik badan untuk mengucapkan, “Maaf kamu itu percuma, Liona. Apa kamu bisa buat nilai-nilai itu jadi bagus?” Papanya mendorong Liona hingga terjatuh, menutup pintu serta menguncinya dalam rumah.

Sesegera ia berdiri dan mencoba membuka pintu yang terkunci. Menarik handel pintu dan memukul berkali-kali. Tidak berhasil, lalu ia menyibak gorden jendela yang berterali untuk melihat papanya.

Jujur, ia deg-degan dengan kenekatan Vibasta yang ingin membakar semua koleksi itu di tong sampah.

Kedua mata gadis itu melotot ketika pria di sana mengeluarkan sebuah korek api gas dari dalam kemejanya.

“PAPAH JANGAN, PAH!”

👑👑👑






Size 2: Girl Don't Cry

Gimana, puas kalian neror authornya, hm?

Wkwk lunas ya size 1-nya


Jangan lupa follow akun ini ya sayangg

IG: @aldirytm
@paskha.id

lahhh, follow Tiktok ku @alskarta karna bakal ada spoiler

See you next time manusia ✨HALU✨

The DimensionsDonde viven las historias. Descúbrelo ahora