22. Sayang, ceunah

7.6K 1.2K 14
                                    

S i l e n t  B o y f r i e n d

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

S i l e n t  B o y f r i e n d

Lalisa WirasmaAaraksha Joan

[22. Sayang, ceunah]

Tak terasa, akhirnya weekend juga. Keadaan Alisa bisa dikatakan membaik, sangat baik malah. Setelah mencuci pakaian, Alisa rebahan di kamar.

Satu minggu tidak mencuci, jadilah menumpuk sampai rasanya punggung mau patah karena mencuci hampir dua ember besar. Kenapa tidak pakai mesin cuci? Kata Emina biar Alisa ini ada kerjanya dikit. Itung-itung hemat duit dan listrik.

Alisa ini memang tipe pantang nyuci sebelum baju di lemari habis. Sampai-sampai Emina berceramah selebar badannya; anak gadis tak boleh begitu, ini, itu, dan tak Alisa gubris. Paling sehari dua hari di dengarkan, setelahnya begitu lagi. Sampai akhirnya Emina tak peduli.

Meskipun termasuk horang kaya, Emina tak
memperkerjakan asisten rumah tangga,
alasannya biar Alisa mandiri. Padahal anak itu
tahu, Emina hanya tidak mau keluar uang.

Kalau suudzon sudah mendarah daging memang susah. Sebenarnya, Emina trauma karena pernah kemalingan asisten rumah tangga sendiri. Koleksi berlian raib, untung tidak semua.

Alisa berguling dari ranjang, setelah ini ia harus beres-beres rumah juga. Mana besar pula. Lagian, kenapa rumah ini tak di buat otomatis biar bisa membersihkan diri sendiri? Hah, Alisa harus membicarakan ini dengan Emina nanti.

Mau tak mau, Alisa bangun. Turun ke dapur untuk mengambil sapu. Celangak-celinguk tak ada Emina disana. Biasanya, mama-nya yang besar nan imut itu sedang memasak sambil nonton drakor.

"Permisi. Mbah," kata Alisa, membuka pintu kamar Emina. Tak ada siapa-siapa.

Pantas saja pagi ini Alisa tak merasakan gempa mandiri. Rupanya, Emina memang tak ada di rumah. Sebenarnya kemana?

Tak ambil pusing, Alisa mulai menyapu. Kenapa tak pakai penyedot debu? Alasannya, biar tukang sapu banyak uangnya. Bisa menabung untuk naik haji, kan nanti Emina dapat pahala juga karena membantu dengan membeli sapu. Selain itu, murah dan hemat. Dasar Emina, memang.

Baru lantai atas, Alisa sudah berkeringat. Kenapa tidak punya rumah sebesar kost-an saja sih biar tidak lelah begini?

"Astaghfirullah, bersyukur masih punya rumah
malah ngeluh," gumam Alisa, akhirnya sadar juga.

Menyapu beres. Tinggal mengepel. Alisa berusaha tersenyum di tengah lelahnya. Harusnya ia sadar, jadwal beres-beres Alisa hanya hari minggu saja, sedangkan sisanya Emina kerjakan semua.

Silent Boyfriend [SELESAI]Where stories live. Discover now