Chapter 10

509 116 39
                                    

AQILA

Pagi ini aku sudah bersiap dengan pakaian untuk pergi ke suatu tempat. Malam tadi aku sudah memberitahukan bang Zulfan untuk mengantarku. Ku lirik ke sebelah, suamiku sedang melingkar arloji di tangannya. Ia tetap terlihat tampan walaupun hanya mengenakan kaos lengan panjang dan celana jeans.

Bang Zulfan tampak kurang ceria, sepertinya disebabkan dirinya tidak bisa ke kampus karena laranganku. Biasanya ia sudah rapi dengan kemeja kebanggaannya.

Aimin pula macam mana?” tanyanya risau.

“Ya ditinggal aja,” ketusku.

Eh,tolong sikit ya. Aimin tu masih budak lagi. Takkan kena tinggal seorang-seorang kat rumah macam ni!” wah, emosi bang Zulfan langsung tidak stabil kalau aku bilang ingin meninggalkan Aimin sendirian di rumah.

“Aku nggak mau tau. Bawa ke tempat penitipan anak aja kalau gitu!” rungutku. Aku hanya sedang ingin pergi berdua, tidak boleh ada orang lain sekalipun itu Aimin anak kandungku.

Sayang, kenapa awak ego sangat? Abang tak nak Aimin tinggal dengan orang lain. Entah-entah dia telantarkan Aimin nanti,” tuduh bang Zulfan.

Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran suamiku. Namanya tempat penitipan anak, pasti mereka akan menjaga Aimin dengan baik karena mereka juga dibayar. Jika terjadi apa-apa, mereka sendiri yang akan menanggung risikonya.

“Bang, aku buru-buru ya! Tolong cepat!” kataku yang memang tidak pernah belajar kesabaran.

Sampai hati awak?” keluhnya dengan tatapan sendu. Mungkin dirinya masih tidak percaya dengan diriku yang begitu tegaan.

Aku tidak menjawab apapun lagi. Hanya duduk di sofa dan memperhatikan bang Zulfan yang mulai memasuki kamar untuk membangunkan Aimin.

Tiba-tiba diri ini merasakan keperihan di bagian perut. Cairan bening keluar dari arah paha. Kepala mulai terasa pusing. Oh my God, apa ini?

“Abang!” teriakku agak keras agar mas suami bisa mendengar.

Sabarlah Abang tengah mandikan Aimin ni!” balasnya dengan teriakan pula.

“Bang Zulfan, cepetan!”

Boleh diam tak?” suaranya mulai terdengar sedikit emosi. Mungkin karena Aimin juga banyak tingkah di kamar mandi. Namanya juga baru bangun tidur, pasti untuk mandi butuh rayuan ekstra agar anak itu mau menurut.

Belum lagi kalau Aimin ingin mandi dan memakai sabun sendiri, itu akan menghabiskan waktu cukup lama. Anak itu suka sekali bermain-main dengan air sabun.

Aku berusaha tenang dan menunggu bang Zulfan. Ah, palingan ini masih pembukaan awal jadi tidak apa-apa menunggu di rumah saja dari pada harus berdiam diri di rumah sakit.Beberapa menit kemudian, rasa sakit itu kembali meronta.

“Bang, aku udah gak kuat!” ingin sekali rasanya menangis sekarang juga, tapi aku takut ketahuan Aimin dan bocah itu akan mengejekku kapanpun yang ia mau.

Jujur, seumur hidup rasanya baru sekali aku menangis di depan Aimin gara-gara laptopku rusak ketika kami masih tinggal di apartemen.

Cukup sekali itu saja aku sudah trauma. Habisnya bocah itu suka mengejekku dan menertawakanku.

Awak letak sikat dekat mana?” Tanya bang Zulfan secara tiba-tiba. Hal itu memmbuyarkan lamunanku dari mengingat masa lampau.

Tunggu-tunggu, untuk apa dia menanyakan sikat di saat aku nyaris kehilangan nyawa?

DEAR, HEART! ✔Where stories live. Discover now