Chapter 22

346 86 19
                                    

Aku masih merasa deg-degan di siang ini. Rasa bersalah masih menyelinap sanubariku. Hingga akhirnya kekhawatiran itu terhapuskan ketika bang Zulfan membukakan pintu mobil untukku. Kami saling bersitatap, seakan banyak hal yang harus dibicarakan khusus berdua.

“Kenapa Abang bisa tahu aku ketemu sama Zafriel?” tanyaku setelah turun dari mobil.

Lupa yang Abang ni tiap hari berkekalan dengan IT? Semua message yang masuk ke dalam phone awak, Abang boleh tau. Selepas ni, jangan nak buat hal lagi,” bang Zulfan menutup kembali pintu mobil, lalu berjalan memasuki rumah.

Pasang muka yang elok, bahagiakan anak-anak,” suruhnya sebelum kami benar-benar masuk. Aku hanya mengangguk pelan. Diriku sudah duluan ketar-ketir kalau dirinya marah.

“Mommy pulang!” ucapku ketika sudah berada di ruang tamu.

“Daddy!” Aimin malah berlari kecil dan menghambur ke pelukan bang Zulfan. Sia-sia aku merentangkan tangan biar dipeluk oleh gadis kecil itu. Bang Zulfan malah menatapku seraya tersenyum menang karena Aimin lebih memilihnya.
Tiba-tiba Ameer ikut merangkak ke arah kami. Kali ini aku pasti bakalan menang. Ameer kan lebih sering denganku ketimbang ayahnya.

“Ameer sayang!” Aku melambai tangan. Anak itu tersenyum riang seraya memukul-mukul lantai dengan telapak tangannya yang mungil. Kemudian ia mengikis jarak dengan kami. Bang Zulfan dan Aimin hanya jadi penonton saja.

Adek nak pilih mommy ke daddy?” ucap Aimin berbicara pada adiknya. Jangankan menjawab, memahami saja Ameer belum bisa.

Anak itu semakin mendekat, sampai pilihannya jatuh kepada a… bang Zulfan lagi. Aku tidak ada yang pilih. Bang Zulfan tertawa dengan bangganya seraya mengedipkan mata padaku. Kak Tun yang baru kusadari keberadaannya, juga ikut tertawa kecil seraya menggelengkan kepala.

Aku beringsut memasuki kamar saja. Lebih baik segera berwudu dan salat Zuhur. Takut emosiku semakin tidak stabil.

*
*
*

ZULFAN

Sekarang ini sudah pukul dua belas malam. Aqila belum lagi masuk bilik. Aku tak tahu entah apa activity dia kat luar sana. Tadi dia kata nak basuh pinggan konon. Padahal selalunya setiap pagi aku yang basuh semua pinggan kotor itu. Alasan je dia ini.

“Makcik, tengah sibuk apa tu? Tak tidur lagi ke?” tanyaku sambil melongok ke luar kamar.

Kerana aku panggil berkali-kali, akhirnya masuklah Aqila ke dalam bilik dengan muka ketat.

“Ekhem, rasanya dah lama sangat tak mesra-mesra dengan istri,” kataku selamba. Dia langsung tenung aku dengan tajam. Hiii takut.

“Nabi kata, malam Jumaat tu sunnah,”

“Sunnah buat beribadah kayak baca Yaasin, Al-Kahfi, berzikir,” balas dia.

“Tapi yang ni sunnah juga,”

“I don’t care!”

“Kalau awak tolak awak boleh berdosa tau!” aku memperingati.

“Jangan coba-coba nodai aku ya!”

“Menodai apanya? Kita dah sah pun.”

“Pokoknya aku nggak mau sampai punya anak lagi. Anak-anak kalau udah gede malah ngelupain aku. Mereka nggak tau apa, siapa yang berjuang mati-matian buat mereka hidup.”

Ish ish ish. Teruk betul fikiran istri aku ni. Siapa yang tak sayang dia? Anak-anak sayang dan selalu butuhkan dia. Cumanya dia harus redha bahwa anak-anak lebih sayangkan aku. Hahaha.

DEAR, HEART! ✔Where stories live. Discover now