Chapter 21

343 86 20
                                    

Waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Lelaki itu tampak begitu berkeringat setelah menyetrika pakaian segunung. Kipas angin level paling kencang pun sama sekali tidak mempan baginya.

Suamiku lagi sok rajin karena aku diamkan beberapa hari setelah kepergok di mall bersama Nursya. Aku seketika irit bicara dengannya. Namun, dia tidak kenal lelah untuk mencari perhatianku agar aku memaafkannya.

Kadang-kadang, hanya karena Aimin baru ada omongan bang Zulfan yang aku jawab. Selebihnya aku kembali diam seribu bahasa.

"Sayang, apa ni?" tanya bang Zulfan kaget ketika membuka lemari untuk menyusun pakaian. Di bagian pakaianku,  hampir semua pakaian sudah aku masukkan ke koper.

"Ya koper lah."

"Awak nak musafir ke mana?"

"Balik Indonesia, lusa."

"Are you kidding me?" tanyanya tak percaya.

"Aku serius. Oh ya, Aimin nggak ikut aku. Ngerepotin aja. Sebenarnya aku juga keberatan bawa Ameer, tapi karena dia nggak terlalu suka susu formula jadi dia terpaksa aku bawa. Anak itu masih ketergantungan sama aku,"

"Awak dah gila!"

"Aku nggak gila. Abang yang udah berubah!"

"Berubah apanya?"

"Abang semakin diingatin tapi makin-makin dekat sama parasit itu!"

"Abang dan Nursya, ..."

"Nggak usah sebut-sebut nama dia! Denger aja udah panas kuping aku."

"Oke, abang dengan parasit itu kerja dalam satu naungan yang sama. Mau buat macam mana pun, kita orang akan tetap berjumpa,"

"Alasan doang!" balasku yang membuang muka.

"Oke, sekarang suka hati awak lah. Nak pergi, pergilah. Tapi awak kena ingat kalau saya tak izinkan istri saya pergi mana-mana pun. Terlebih pergi balik Indonesia. Kalau awak dah tak sudi lagi jadi istri saya, pergi je lah. Anak-anak tetap dengan saya,"

Aku terdiam. Kalau udah keluar kata-kata 'saya' udah paham kan maksudnya? Dia marah pada tahap paling tinggi. Bang Zulfan malah balik badan dan menyusun pakaian ke lemari.

Aku masih setia berdiri di belakangnya. Bingung harus bereaksi seperti apa ketika mendengar kalimatnya barusan. Ketika dia berbalik badan ke samping mengambil pakaian, aku melihat tetesan itu. Bang Zulfan nangis, gara-gara aku!

Merasa bersalah banget gak, sih? Kalau perempuan nangis mah udah biasa. Tapi kalau laki-laki yang menangis dan kita sendiri sebagai penyebabnya, rasanya seperti habis melakukan dosa besar saja.

Tapi aku ngerasa gengsi untuk minta maaf. Habisnya dia nantinya juga akan bertemu Nursya lagi dan kejadian sama akan terulang. Kenapa dia nggak paham-paham juga, sih? Kalau aku cemburu berat jika saingan aku sekelas Nursya.

*

*

*

Keputusan aku sudah bulat untuk mengambil sebuah tindakan. Semua kejanggalan itu, aku yakin bukanlah sebuah kepastian. Memang disengaja.

"Hallo, boleh kita bertemu?" ucapku begitu telepon dengan seseorang tersambung.

"Saya tak salah dengar ni?"

"Aku pengen ketemu," kalau pake saya-anda kayaknya terlalu formal banget dan itu bikin aku nggak nyaman sebenarnya. Soalnya aku dan Zafriel sudah mengenal satu sama lain walaupun tidak akrab.

DEAR, HEART! ✔Where stories live. Discover now