Chapter 11

491 106 22
                                    

“Assalamu’alaikum,” ucapan salam dari luar membuatku tersenyum senang. Bang Zulfan akhirnya pulang dari kampus. Aku sudah lumayan mengantuk karena seharian tadi menjaga bayi.

“Wa’alaikumussalam,” balasku yang berada di ruang keluarga. Aku sengaja tidur di sana karena tidak bisa duduk maupun berbaring di kasur kamar yang empuk. Bisa bahaya dan menyebabkan robek bekas jahitan. Duh, membayangkan saja aku sudah ngilu.

Lagi pula di ruang keluarga aku bisa menonton televisi agar tidak mudah bosan. Dan, aku juga lebih senang di ruang keluarga sih, karena siapapun bisa datang dan menjenguk bayi kami. Bang Zulfan juga sudah berpesan tidak boleh ada orang lain yang masuk ke kamar kami karena kamar adalah tempat yang sangat privasi.

Aku menidurkan si bayi di kasur kecilnya setelah memberikan susu formula, lalu mengecup tangan yang diulurkan bang Zulfan.

Aku bisa melihat wajah lelah bang Zulfan yang baru pulang sesore ini. Katanya tadi dirinya ada rapat yang tak bisa ditinggalkan.

Anak Daddy kenapa cepat sangat tidur ni?” ujarnya pada si bayi yang sejak tadi sudah menutupkan mata.

“Abang yang pulangnya terlambat, tadi baby belum tidur, kok. Lagian namanya juga bayi, pasti lebih banyak tidur ketimbang terjaga,”

"Aimin mana, Sayang?" Tanyanya setelah duduk di sebelahku.

"Lagi pake baju tuh di kamarnya," bang Zulfan mengangguk pelan.

Kadang-kadang aku perlu mengucapkan banyak syukur. Di usianya yang tiga tahun setengah, Aimin sudah mandiri memakai pakaian sendiri. Sebab Aimin tahu aku tidak bisa banyak bergerak untuk beberapa saat ini. Ya, walaupun alhasil isi lemarinya jadi berantakan karena hasil karya Aimin yang suka gonta-ganti pakaian setiap dua jam sekali.

"Rumah macam mana? Oke?"

"Tadi Kak Tun udah masak dan bereskan semuanya," balasku. Kak Tun adalah salah satu pekerja yang akan membantu kami beberapa hari ke depan sampai aku sembuh. Namun, beliau tidak ikut tinggal bersama kami. Beliau datang pagi-pagi sekali dan baru akan kembali ke rumahnya sore hari, ketika bang Zulfan sudah pulang, tetapi khusus hari ini beliau aku biarkan pulang lebih cepat karena bang Zulfan lumayan lama kembali.

Tugas Kak Tun hanya sekadar masak, membersihkan rumah dan halaman saja. Lebih tepatnya aku meminta beliau datang tak lain adalah untuk menemaniku kalau-kalau nanti butuh bantuan. Aimin juga masih kecil dan sering menangis tidak jelas, Kak Tun lah yang nantinya menjaga gadis kecil itu. Aku rasa Aimin cemburu dan takut kasih sayang kami padanya berkurang sejak adiknya lahir. Padahal konsepnya mana ada seperti itu?

Untuk urusan pakaian akhirnya bang Zulfan menyerah. Ia mengantar pakaiannya ke laundry. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya yang anti sekali jika pakaiannya disentuh orang lain. Kali ini ia harus mengalah karena tidak sempat mencucinya sendiri.

Aku jadi membayangkan di awal-awal pernikahan dirinya seperti tidak rela pakaiannya aku cuci tanpa perasaan. Nggak jarang ia menatapku kesal karena aku hobi mencampurkan semua cucian dan berakhir dengan beberapa kemeja putih yang  jadi warna merah atau biru karena pakaian lain yang luntur.

"Sayang, kenapa senyum-senyum sendiri tu?" Aku menggeleng seraya tersenyum menatapnya.

Bang Zulfan mengangkat bahu, lalu kembali menatap si bayi dan mencubit pipi halusnya.

"Jangan ganggu, nanti dia nangis. Nggak tau apa, aku capek banget nidurin nih bocah!"

Eh, aku berlebihan nggak sih kalau agak teriak ke suami? Dia natap aku aneh banget sekarang.

Okelah kalau macam tu, Abang nak mandi dulu,” putusnya. Alhamdulillah, dia nggak marahin aku balik.

Dirinya bangkit, lalu malah mencubit pipiku sebelum benar-benar menjauh. Bang Zulfan ngeselin!

DEAR, HEART! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang