Chapter 18

398 87 10
                                    

Aku terjaga begitu mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Manusia yang pertama sekali kulihat adalah Ameer tertidur pulas di sebelahku.

Ku lirik jam dinding yang ternyata menunjukkan pukul sembilan lewat. Tadinya aku ingin menidurkan Ameer, tetapi ternyata aku kebablasan dan ikut tertidur. Selelah itu aku seharian ini.

Langkah kakiku menuju ke kamar Aimin. Ingin mengecek keadaannya, apakah anak itu sudah tidur atau belum. Ya Allah, aku bahkan tadi melupakannya. Entah dia sudah minum obat setelah makan malam tadi.

Baru saja ingin membuka pintu kamar Aimin, bang Zulfan berbicara setengah berisik padaku.

"Aimin dah tidur, it's ok,"

Aku melirik ke arahnya. Suamiku memakai celemek warna abu-abu dibalik kemeja hitamnya. Aku ingat betul, itu baju yang ia pakai ketika berangkat ke kampus pagi tadi.

"Abang lagi masak?"

"Tak, tengok-tengok je," dengan maksud lain, dirinya mengatakan padaku bahwa dia memang lagi masak, ngapain nanya lagi?

Aku hanya menggelengkan kepala. "Sorry ya, Bang. Aku ketiduran. Hari ini beneran capek banget,"

"No hal la," balasnya sibuk membersihkan bagian dapur. Kompor yang awalnya berminyak kini sudah steril. Piring sudah dicuci bersih dan tertata cukup rapi, tidak sembarangan seperti yang biasa kulakukan.

Jujur, aku malu banget sama bang Zulfan ketika mengetahui bahwa malam ini dia membersihkan area dapur. Bukannya aku nggak mau bersihkan, tapi terkadang punya waktu saja tidak.

Aku ingat di awal pernikahan ketika pertama kali memasuki kamarnya. Begitu bersih, rapi, wangi. Semua benda harus diletakkan secara simetris, nggak boleh miring sedikitpun. Pasti dia akan merasa jijik banget sama penampakan di rumah yang kurang terurus saat ini.

"Awak rehat la dulu. Belum makan lagi, kan? Makan la Abang dah masak ni," ia mendorongku ke meja makan. Menarik sebuah kursi dan mempersilakan diriku.

"Tapi, ..."

"Makan!"

Perasaanku tidak enak karena malam ini belum melihat senyumnya. Biasanya dia akan melawak setiap pertama kali melihatku. Dia terlihat begitu lelah dengan penuh keringat di pakaian dan wajahnya, tapi terus bekerja membereskan dapur. Aku yakin dirinya sedang menahan kesal karena melihat kondisi dapur yang tadinya kutinggali. Tumpahan susu Ameer, plastik bekas obat Aimin, piring belum tercuci, alat-alat dapur yang masih berantakan. Ya Allah lengkap sudah.

"Kenapa tak makan? Tak nak?"

"Iya, tapi kita harus bicara,"

"Abang dah berpeluh. Penat ni. Abang mandi dan sholat Isyak dulu, lepas tu kita duduk bincang. Deep talk,"

Aku mengangguk pelan, lalu melahap makanan dengan mata sembab.

Usai makan, aku membereskan meja makan dan menyimpan makanan di kulkas agar bisa dipanaskan kembali besok pagi.

Aku memasuki kamar kembali. Tampak bang Zulfan masih bersimpuh di atas sajadah dengan tangan terangkat ke atas. Dia berdoa lama sekali. Entah apa saja isinya, aku tidak tahu. Semoga dia tidak meminta untuk memiliki istri kedua.

Dia kali ini mengenakan kaos lengan panjang dan sarung. Sebenarnya baju kokonya sudah aku cuci, hanya saja belum sempat disetrika. Alhasil laki-laki itu memakai pakaian biasa untuk salatnya. Nggak papa, yang penting syaratnya kan suci. Buat apa pakaian mahal tapi tidak suci, tidak akan sahabat salat kita.

DEAR, HEART! ✔Where stories live. Discover now