Chapter 1

1.8K 168 52
                                    

Heartbreaking
__________________________

Aku sedang membilas pakaian tepat di saat Aimin merengek minta dibelikan es krim. Bang Zulfan sudah mengatakan padaku bahwa ia akan pulang agak telat hari ini karena ada rapat dengan orang penting kampus.

“Nanti aja, Sayang,”

Tak nak, Aimin nak ice cream sekarang ni juga!” anak itu menampilkan wajah kusutnya, merajuk.

“Mommy lagi sibuk! Nggak liat Mommy ada kerjaan?” aku jadi ikutan meninggikan suara karena kesal padanya yang keras kepala. Spontan Aimin menangis keras karena ketakutan.

Ku hela napas, lalu mencuci tangan dengan air yang banyak agar tidak tercium bau sabun lagi. Aku berusaha menenangkan diri dulu, baru kemudian menenangkan Aimin yang menangis disebabkan olehku.

Aimin yang masih menangis, menuju ke kamarku dan mengambil ponsel. Aku hanya berdiri di pintu kamar dengan memeluk dada seraya melihat gerak-geriknya. Anak dua tahun setengah itu tidak kesulitan membuka ponsel yang tak terkunci layarnya.

“Aimin mau ngapain?”

Nak call Daddy,” katanya yang masih terisak.

“Buat apa?” Aimin tidak menjawab lagi. Ia asik menggeser-geser layar ponsel. Sementara aku menuju lemari untuk memasukkan pakaian yang baru saja disetrika suamiku tadi malam.

Walaupun punya uang yang cukup, tapi tidak pernah sekalipun bang Zulfan membawa pakaiannya ke laundry. Dia selalu menyuruhku untuk melakukan ini dan itu. Berhubung sekarang aku beralasan sering sakit, makanya dia membantu mengerjakan.

Daddy ... Mommy marahkan Aimin. Aimin cuma minta ice cream je, tapi Mommy tak bagi,

Aku melongo mendengar suara imut dan manja itu. Aku pikir Aimin akan menyuruh ayahnya untuk membelikan, ternyata dia malah mengadu bahwa aku memarahinya. Tak lama kemudian terdengarlah suara lelaki  di seberang telepon.

“Dah dah anak Daddy yang comel jangan menangis. Mana Mommy? Daddy nak cakap sikit,”

Aku mendelik ketika Aimin mulai menatapku. Aku segera berkacak pinggang dan menatapnya horor. Sontak Aimin menangis lagi.

“Huaaa!” Haduh, Aimin ini! Aku menepuk jidat sendiri.

“Hei, kenapa tambah nangis ni? Nanti biar Daddy yang marahkan Mommy balik. Dah diam, my princess,” suara suamiku kembali terdengar.

Ya Allah. Siap-siap bang Zulfan akan menceramahiku panjang lebar lagi. Aku merebut ponsel di tangan Aimin dan mematikannya. Namun, cikgu Zulfan itu tidak tinggal diam untuk menelpon balik. Aku terpaksa mengangkatnya.

“Ya?”

“Awak, kenapa awak marahkan Aimin?  Dia tu anak kita,”

“Yang bilang anak tetangga juga siapa, Bang?”

“Aimin masih budak lagi. Jangan marahkan dia. Kalau Aimin minta sesuatu, awak bagi je lah.”

“Yang pengen punya anak siapa? Abang kan? Kok malah aku yang lebih repot?”

“Abang kerja la kan?” pintar sekali dia memberi alasan.

“Ya udah kalau gitu aku juga mau kerja biar nggak capek ngurusin anak,” ini perdebatan yang paling aku suka. Syukur-syukur bang Zulfan mau membiarkan aku mencari pekerjaan. Aku sudah bosan mengurus rumah tangga.

“Mana boleh macam tu? Kita mesti sama-sama menjaga anak la. Abang tengah busy ni, nanti petang Abang pulang, oke?” bang Zulfan segera mematikan ponsel secara sepihak. Apanya yang oke?

DEAR, HEART! ✔Kde žijí příběhy. Začni objevovat