Chapter 3

1K 140 27
                                    

Aku memasuki kamar dan mendapati bang Zulfan yang tertidur pulas. Aku menuju jendela demi menyibak gorden, mendapati pagi yang sudah begitu terang.

Aku baru saja dari dapur untuk memasak sarapan. Seperti kebiasaan pada pagi sebelumnya.

Mataku melirik ke jam dinding yang terpajang menghadap tempat tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan saja.

"Bang, bangun!"

Aku membangunkan lelaki itu seraya memukul pelan pundaknya. Ia baru saja tidur setelah salat subuh, usai begadang semalaman memeriksa lembar ujian.

Tanganku kembali bergerak, kini justru menarik rambutnya agar ia kesakitan dan segera membuka mata. Aku orang yang paling kesal jika harus membangunkan orang lain dengan durasi lama-lama. Sangat membuang waktuku.

"Bangun!"

"Abang baru je tidur, Sayang," katanya dengan suara parau. Dasar lelaki, banyak sekali alasan ketika dibangunkan. Maka dari itu aku tidak pernah lembut ketika menyuruhnya bangun. Seringkali aku mengancamnya, tapi untuk kali ini bukan ancaman. Dia benar-benar harus bangun.

"Bang! Katanya harus aku bangunin jam setengah delapan? Nggak jadi ujian?" Apa dia sudah lupa atau bagaimana? Tadi ketika aku memasak, dirinya sendiri yang meminta agar dibangunkan pada jam tersebut.

Matanya mulai terbuka sedikit. Dengan mata menyipit ia melirik jam dinding. Lalu melirik diriku yang berdiri di sisi ranjang seraya berkacak pinggang.

"Kalau Abang cakap jam delapan setengah, itu bermaksud betul-betul jam delapan setengah. Apa pulak awak bangunkan cepat sangat ni!" Bangun-bangun ia sudah marah padaku. Harusnya ia berterima kasih karena aku sudah jadi alarm manualnya.

"Lah emang bener kan?"

"Dah berapa tahun duduk Malaysia?" Tanyanya yang membuatku mengernyitkan dahi. "Ini masih awal lagi!"

Oh my gosh! Aku baru sadar bahwa aku salah. Harusnya bang Zulfan bangun sekitar satu jam lagi. Delapan setengah itu maksudnya jam delapan lewat 30 menit. Aku malah membangunkan di jam setengah delapan.

"Ya ... ya udah kalau gitu silakan tidur lagi,"

"Tak boleh," ia mulai duduk, memperhatikan sekeliling. Kalau sudah terbangun, pastinya akan begitu sulit untuk memejamkan mata kembali.
Sebenarnya aku jadi kasihan padanya yang kurang tidur itu. Aku yakin seharian ini mood-nya pasti berantakan. Kalau ingin tahu siapa yang dijadikan mangsa, akulah orangnya.

"Tolong ambikkan phone Abang," katanya ketus.

Kan! Dia mulai menyuruh-nyuruh. Aku seperti dayang istana yang  sigap menuju nakas dan mengambil benda pipih dengan case warna silver itu.

Ponsel sudah berpindah tangan. Aku memperhatikan bang Zulfan sempat memijat pangkal hidungnya, baru kemudian menelepon seseorang.

"Halo, assalamu'alaikum,"

"Tolong bagi tau kawan-kawan semua, Cikgu tak jadi masuk harini. Korang boleh belajar lagi."

"Oh ya, tolong carikan hari yang free untuk exam. Make sure mesti dalam minggu ni,"

Sesudah menyampaikan kalimat pentingnya, bang Zulfan segera mematikan telepon dan melemparnya asal ke ranjang.

Gampang sekali jadi dosen. Bisa membatalkan jadwal sesuka hati. Untung di masa kuliah dulu aku tidak satu fakultas dengannya. Namun, tetap saja di masa kuliah aku berurusan dengannya. Sampai akhirnya kami menikah. Dia menjabat sebagai sekretaris kemahasiswaan kala itu di Indonesia.

DEAR, HEART! ✔Where stories live. Discover now