Chapter 6

749 139 37
                                    

AQILA

Pagi yang begitu indah di rumah pribadi dengan tanaman asri di halamannya. Pemilik rumah sebelumnya begitu rajin menanam bunga dan tanaman lainnya, sehingga bagian depan rumah terlihat memesona.

Aku merentangkan kedua tangan dan menghirup udara segar pada pagi itu.

Kulirik ke jalan komplek, tampak orang-orang sedang jogging. Mereka yang lewat di depan rumahku melemparkan senyum padaku. Ternyata mereka tidak sombong. Sepertinya seru juga tinggal di sekitaran sini.

Senyumku seketika lenyap ketika mendapati sosok Nursya tak jauh di belakang mereka.

"Tak lama lagi baby tu dah nak lahir dah kan?"

Terus? Apa masalahnya dengan kamu? Nursya ini benar-benar kurang kerjaan.

"Sorry i'm not interested to talking with you," balasku tak peduli.

"Saya bukan apa, cuma nak bagitau kalau selepas baby tu lahir, Aiman akan jadi milik saya,"

Omaygad. Aku nggak tau lagi harus dengan cara seperti apa melayani perempuan sejenis Nursya ini. Tidak tau malu sama sekali.

"Aku udah bilang kalau aku nggak tertarik sama omongan kamu!"

"Kenapa? Tak pandai nak jawab saya lah ni? Dah lah kampung, dari Indon pula tu,"

"W-what?" Emosi saya kalau begini.

"Saya cantik, terpelajar, carier bagus, masa depan ada, Aiman akan berpaling dekat saya. Awak ada apa?" Tanyanya angkuh.

Dalam buku yang pernah kubaca, semakin tinggi tingkat mutu pendidikan yang dihasilkan, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan dan kepuasan atas kinerja lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Persamaan itu tidak ada bedanya dengan Nursya, tetanggaku. Semakin tinggi ilmu yang ia punya, semakin percaya diri perempuan itu menganggu suamiku. Dia pikir bisa menyaingi seorang Aya Aqila?

"Heh, kamu dengar baik-baik ya! Aku juga perempuan terpelajar. Hanya saja sekarang aku nggak memperlihatkan semuanya pada orang. Jangan harap kamu akan mendapati suami aku. For your information, ketika aku masih kuliah aja bang Zulfan sampai berkali-kali ngelamar aku. Begitu selesai sidang skripsi, dia langsung nikahi aku. Nggak lama setelah nikah, aku langsung hamil. Umur Aimin masih kecil, tapi sudah mau punya adik lagi.

"Bisa liat sendiri kan, gimana bang Zulfan begitu mencintai aku? Dia nggak bisa jauh-jauh dari aku. Jadi mustahil bagi dia untuk mendekati kamu! Aku itu nggak kerja bukan karena aku nggak mau, tapi karena bang Zulfan nggak ngizinin aku. Dia cemburu, nggak rela kalau wajah aku dilihat oleh lelaki lain,"

"Heleh, alasan,"

"Lagian buat apa cantik dan berpendidikan tinggi kalau nggak laku!"

Aku nggak peduli Nursya paham atau tidak dengan omonganku, yang penting aku sudah meluapkan emosi. Namun, dari raut wajahnya terlihat bahwa dia seperti tak percaya aku bisa mengatainya. 

Perempuan itu seketika memasuki pekarangan rumahnya yang berada tepat di sebelah kiri rumahku. Aku pun memasuki rumah sendiri, sudah muak dengan pemandangan semenjak melihat Nursya lewat.

"Amboi, pandainya awak menjawab,"

Aku memfokuskan atensi pada sumber suara begitu memasuki rumah. Ternyata di ruang tamu bang Zulfan berdiri dengan dasi di tangannya.

Aku menghela napas. Urusan kecil seperti memasang dasi saja ia serahkan padaku. Kalau aku complain, dia selalu tanya, 'apa tugas istri? Kena layan suami kan?' Entahlah, sepertinya bang Zulfan merasa aku ini wonder woman, bisa sekuat baja walaupun perut semakin hari semakin besar.

DEAR, HEART! ✔Where stories live. Discover now