Chapter 25

367 80 18
                                    

Aku baru saja selesai mengikuti kelas. Kini aku duduk di kantin seraya menunggu bang Zulfan menjemputku. Aku kuliah di kampus yang berbeda dengannya mengajar.

Ngomong-ngomong aku mengambil program magister di bidang Ilmu Humaniora. Ya, memang tidak linear dengan jurusan sebelumnya kala sarjana. Lagian mana ada Sastra Indonesia di Malaysia?

Setelah dua bulan lalu bang Zulfan mengizinkan aku kuliah, awalnya aku sempat mendaftar di luar Malaysia. Namun, bang Zulfan tidak memberikan izin. Nggak masalah, yang penting aku bisa menimba ilmu. Di Negara ini juga banyak kok mahasiswa dari luar Indonesia dan Malaysia. Jadi aku tetap bisa mengenal kultur budaya dari berbagai daerah. Bisa mendengar mereka berbicara bahasa asing. Bisa kenal bule luar negeri. Haha maafkan aku.

Ngomong-ngomong, dua hari lalu bang Zulfan sudah memanggil polisi untuk menangkap Nursya. Rekaman obrolan aku dan Zafriel dijadikan bukti. Polisi juga mendatangi pihak keamanan taman untuk meminta rekaman CCTV. Zafriel kemarin dipanggil untuk menjadi saksi atas kejadian itu. Dia tidak bisa mengelak apapun lagi, karena istrinya memang bersalah.

Awalnya bang Zulfan sempat marah padaku karena baru menceritakan semua ini sekarang. Kecelakaan Aimin mungkin memang cobaan untuk keluarga kami, tapi kami juga harus memberikan Nursya pelajaran agar perempuan itu bisa lebih bertanggung jawab ke depannya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, aku mendapat telepon dari bang Zulfan. Katanya dia sudah menunggu di depan. Kenapa dia tidak membawa mobilnya sampai sini? Akhirnya aku mengalah untuk berjalan ke depan gerbang dengan langkah gontai. Saat ini aku tidak boleh banyak protes atau dirinya akan menyuruhku berhenti kuliah.

“Anak-anak aman kan?” tanyaku begitu menaiki mobil dan memakai sabuk pengaman.

What? Pertanyaan macam apa ni?” bang Zulfan melirik ke arahku.

“Lho, bukannya hari ini anak-anak sama Abang? Kak Tun kayaknya nggak bisa datang karena katanya lagi kurang sehat,” ujarku ketika mobil mulai melaju.

Aqila, awak serius ke?” tanya bang Zulfan yang seakan ada yang salah dengan ucapanku. Memangnya aku sedeng bercanda?

“Serius,” jawabku yang mulai kebingungan.

Tadi Abang balik rumah tapi tak jumpa siapa-siapa kat rumah. Kenapa awak tak cakap awal-awal kalau awak…

“Masa aku harus tiap kali bilang kalau aku hari ini ada jadwal kuliah?” tanyaku sedikit tensi.

So, tadi awak tinggalkan anak-anak kat rumah macam tu je? So stupid!” bang Zulfan melajukan mobil begitu kencang. Aku coba menetralisir keadaan usai mendengar kutukannya barusan.

“Kalau mereka nggak ada di rumah, berarti kak Tun udah bawa mereka jalan-jalan. Abang, hati-hati nyetirnya. Bahaya lho!” ucapku mencoba mengurangi kepanikannya. Aku tahu kata-katanya tadi sangat menyakiti perasaanku. Namun, mungkin saja dia terlalu khawatir pada anak-anak. Di dalam hati aku juga terus berdoa agar anak-anakku baik-baik saja.

Tiba di rumah, tidak ada siapa-siapa. Juga tidak ada keanehan. Rumah rapi, masih seperti tiga jam lalu saat aku tinggalkan.

“Mungkin mereka lagi dibawa jalan-jalan sore. Aimin suka main di taman itu karena bisa punya teman baru,”
Bang Zulfan merogoh saku celananya lalu menelpon seseorang.

Assalamu’alaikum, Kak. Akak kat mana ya?

Loadspeaker please!” pintaku.

Terdengar dari seberang sana suara batuk-batuk, lalu disahut dengan jawaban salam.

Wa’alaikumussalam. Saya dekat rumah saya, Cik,” balas orang itu yang ku yakini adalah kak Tun.

Dekat rumah akak? So, anak-anak?

Tadi dalam pukul dua saya datang ke rumah Cik. Tapi saya tak jumpa budak-budak tu. Saya terus balik lagi sebab saya pun tengah kurang sihat. Saya ingat Cik dah bawa dia orang,

Tanpa ucapan apa-apa bang Zulfan segera mematikan obrolan. Ia mengepalkan tangan dan meninju tembok ruang tamu.

Arrgghh!

“Sabar, Bang. Tolong tenang,” aku memegang lengannya yang hendak membanting ponsel.

Ini semua sebab awak tau tak?” tuduhnya dengan rahang mengeras.

“Kok malah nyalahin aku?”

Awak yang langsung tinggalkan anak-anak, tak tunggu kak Tun datang rumah kita dulu. Kalaupun kak Tun tak boleh datang, semestinya awak bagi tahu Abang awal-awal,

“Bang, aku udah chat Abang dan Abang bilang lagi otw pulang. Aku tadi beneran buru-buru banget karena Profnya nyuruh kami datang lebih awal. Maaf lupa ngabarin lagi karena aku udah gak bisa megang hp tadinya,"

"You make me crazy, Aqila! Ke mana kita nak cari anak-anak? Ameer masih baby lagi.

Aku di sini juga nggak kalah khawatir. Bukan cuma dirimu saja, Bang.

***

Dua hari setelah anak-anak hilang,
Daniel dan istrinya datang ke rumah. Mereka turut prihatin atas apa yang menimpa kami.

Aku redho je kalau mereka ambil harta aku. Silakan ambil barang berharga, kereta, semuanya. Tapi jangan anak-anak aku,” Daniel tampak mengusap punggung bang Zulfan, sahabatnya.

“Kok anak-anak bisa hilang, sih Qila?”
Pertanyaan macam apa ini? Aku sontak menatap Daniel dengan tajam. Bang Zulfan dan Hasna kini menatapku.

“Kenapa semua orang nyalahin aku? Aku juga sedih atas kejadian ini. Mereka juga darah daging aku, siang malam aku yang jagain. Apa salah kalau aku lanjut studi? Salah kalau aku kuliah lagi? Ya, mungkin kalian dan orang-orang di luar sana akan berpemikiran ngapain aku kuliah kalau aku udah punya suami yang mapan dan bertanggung jawab? Tapi kalian nggak sadar apa yang aku pikirkan saat ini?

"Aku nggak bisa terus-terusan bergantung sama suami. Kita nggak akan pernah tau kemungkinan apa yang terjadi di masa depan. Boleh jadi nantinya bang Zulfan sakit dan anak-anak harus menempuh pendidikan di tempat yang bagus. Bagaimana aku bisa mencari uang kalau aku sama sekali nggak punya pengalaman kerja? Atau kemungkinan paling mengerikan, bang Zulfan mulai bosan sama aku dan mengucapkan kata perpisahan. Kalian tahu, kan posisi aku yang cuma anak sebatang kara dan tidak memiliki apa-apa. Aku nggak punya keluarga. Kalau aku butuh uang aku nggak tau harus minjam ke siapa. Maka dari itu aku mencoba untuk mandiri. Aku harus bisa mempersiapkan diri agar nantinya tidak kaget dengan kemungkinan yang tidak diharapkan,” jelasku panjang lebar serta berusaha tidak mengeluarkan air mata.

Jadi serendah itu awak menilai Abang? Abang dah korbankan semuanya untuk awak dan keluarga tapi awak masih lagi mengira Abang akan tinggalkan awak? Awak nak pembuktian apa lagi? Tak nampak ke cinta Abang selama ni?

"Ya kan aku bilang kemungkinan, sesuatu yang belum tentu,"

Guys, sorry sebelumnya. Kayaknya ini bukan waktu yang tepat untuk melayani perasaan masing-masing. Sebaiknya kita fokus ke pencarian anak-anak dulu. Ini udah hari kedua dan kita belum nemu informasi apa-apa,” Hasna menetralkan kembali keadaan. Bukan apa, aku hanya sedih kalau aku disalahkan atas kehilangan Aimin dan Ameer. Seakan aku akan baik-baik saja ketika kehilangan mereka. Aku masih sangat khawatir, mereka masih begitu kecil dan jarang bertemu orang baru.

“Kalian mau bantu kami, kan?” tanyaku pada Hasna dan Daniel. Aku benar-benar butuh bantuan mereka.

“Pasti, kami nggak akan berhenti sampai kita bener-bener bawa anak-anak pulang dengan selamat,” Daniel berjanji.

“Bang, anak-anak akan baik-baik aja di luar sana kan?” aku mengiba pada bang Zulfan. Lelaki itu memelukku dan mencium keningku.

Allah akan jaga mereka,

Aku memeluk bang Zulfan kian erat, sampai kepalaku terasa berat dan semuanya jadi gelap.

***

Kok anak-anak bisa hilang sih?

DEAR, HEART! ✔Where stories live. Discover now