Chapter 9

706 134 29
                                    

AQILA

Aku menggulir layar ponsel untuk sekadar mencari-cari informasi di Instagram yang ku-follow. Sesekali menyesap susu bumil yang sudah disediakan sebelumnya. Duduk di teras depan dengan menyilangkan sebelah kaki sambil scroll media sosial, sepertinya begitu menyenangkan di pagi yang cerah ini.

Tiba-tiba aku mendengar suara orang mengobrol tak jauh dariku. Aku melirik ke sebelah, lalu segera memalingkan wajah ketika tahu suara itu bersumber dari rumah Nursya.

"Papa dengan Mama elok-elok, tau. Nanti kalau dah sampai rumah jangan lupa bagitahu Sya,"

Nursya tampak begitu manja dan mesra dengan kedua orang tuanya. Ayah Nursya memegang tas besar, sementara ibu Nursya yang cantik mirip orang Turki itu memegang barang lainnya. Mereka tampak berpelukan seperti akan melalui sebuah perpisahan. Sekarang aku tahu dari mana wujud paras cantik yang ada pada Nursya, ternyata diturunkan dari ibunya langsung.

"Mestilah Mama call anak Mama yang cantik ni," balas ibu itu seraya mengusap pipi Nursya.

Entah mengapa, aku merasakan kesedihan melihat kebahagiaan itu. Rasa rindu kepada almarhum mama dan papa mulai beradu.

Ku lirik perutku, aku mengusapnya pelan. Aku bertekad akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku. Mereka harus bangga memiliki ibu sepertiku. Aku berharap, Allah tidak mengambil nyawaku dalam usia yang cepat, agak anak-anakku kelak tidak merasa kehilangan sepertiku.

"Good morning, Aiman!"

Seruan Nursya dari seberang sana mengagetkanku. Aku melirik ke pintu yang ternyata sedang berjongkok suamiku memakai sepatu.

Bang Zulfan hari ini rapi sekali. Ah bukan, memang ia setiap hari harus rapi dan bersih. Namun, kali ini kharismanya lebih terlihat ketika memakai kemeja putih tulang dengan jas hitam di luarnya. Katanya hari ini ia akan mengisi seminar di kampusnya. Makanya berpenampilan sedikit berbeda.

"Masyaallah hari ini handsome banget suamiku!!! Elok mata ini memandang," pujiku.

"So, selama ini abang tak elok dipandang ke?" Tanya bang Zulfan seraya mendelik. Nah kan, ketahuan nggak pernah muji suami.

"Aiman, awak belum berkenalan lagi dengan papa saya,"

Bang Zulfan yang tadinya bersikap acuh pada Nursya, sekarang justru berusaha ramah ketika menyadari ada dua sosok lainnya di belakang gadis itu.

"Selamat pagi, Uncle, Aunty," sapa bang Zulfan akhirnya.

Ayah Nursya tampak begitu lama memperhatikan sosok bang Zulfan, membuatku tidak suka. Jangan-jangan ayah Nursya sedang menentukan perjodohan anaknya dengan suamiku.

"Sayang, sebaiknya langsung berangkat aja deh. Takut terlambat," ujarku dengan suara sengaja dibuat agak besar, apalagi ketika memanggil bang Zulfan 'Sayang'. Aku suka hal-hal seperti itu, biar Nursya kepanasan.

"Oke, kalau macam tu Abang pergi dulu," lirih bang Zulfan.

"Cium," bisikku.

Bang Zulfan melotot. Ia pasti kaget dengan permintaanku kali ini yang terdengar cukup berani. Hei, jangan besar kepala, ini cuma untuk pemanasan aja biar Nursya segera taubat dari profesinya sebagai pelakor.

"Bang!" tegurku ketika bang Zulfan masih bengong.

"Dah cium tadi waktu bangun tidur kan? Lepas sholat soboh pun dah peluk puas-puas. Tak cukup ke? Jangan nak menggatal kat depan rumah ya! Malu jiran nampak!"

Oh Tuhan. Bang Zulfan kalau bersabda gak ada mikir. Untung saja suaranya agak dipelankan, jadinya Nursya tidak bisa mendengar.

Baru akan berangkat, tiba-tiba Aimin sudah keluar dengan botol susu di tangannya.

DEAR, HEART! ✔Where stories live. Discover now