Chapter 8

716 121 49
                                    

Pagi ini aku sedang menyiram bunga di halaman rumah. Namun, seseorang menginterogasi membuat aku menghentikan aksi.

"Saya tak pernah tengok suami Cik keluar. Sebetulnya ke mana suami Cik ni?"

Tolong! Apa masalah bapak ini? Kenapa dia nanyain bang Zulfan? Orang tuanya Nursya kenapa masih aja di sini sih?

"Dah berangkat. Suami saya selalu on time urusan pekerjaan," balasku.

"Bertuah kan Cik dapat suami seperti itu. Mesti Cik happy,"

Aku hanya mengangguk seraya tersenyum tipis pada lelaki paruh baya di hadapanku. Lalu lanjut menyiram tanaman di sisi lainnya.

Aku sempat mendengar deringan ponsel milik ayah Nursya, tapi aku tidak peduli. Toh, bukan urusanku. Namun, samar-samar aku mendengar pembahasan beliau dengan seseorang dibalik telepon. Bukannya aku suka menguping ya, tapi karena ayah Nursya yang me-load speaker teleponnya. Aku tidak perlu menertawakan itu, karena hal seperti itu sudah menjadi hal biasa untuk orang tua. Mungkin saja indera pendengarannya sudah kurang berfungsi.

"Limah, nanti Abang balik lah. Abang dekat rumah Nursya ni,"

"Abang cakap Abang balik, tapi tak sampai-sampai pun. Macam ni lah kalau dah dapat istri kedua. Istri tua dah tak ingat lagi,"

"Bukan macam tu ...."

Aku membekap mulut. Masih syok dengan pembahasan mereka. Jadi pak cik itu punya dua isteri? Aku jadi takut kalau suatu hari nanti membiarkan Nursya mendekati dan menikah dengan suamiku. Pasti ia akan mendukung. Toh, dirinya sendiri juga poligami.

***

"Boboboy"

"Upin dan Ipin,"

Aimin berulang kali menyebutkan nama-nama kartun yang biasa ditontonnya. Ponsel didekatkan ke mulut dan merekam suaranya, tetapi tidak menampilkan apa-apa di YouTube.

Ah, kembali aku teringat bahwa Aimin cukup pintar. Ketika aku malas mengetik di mesin pencarian, aku pakai voice note. Sehingga dari akulah Aimin terinsipirasi untuk membuka YouTube menggunakan cara yang sama.

"Mommy, kenapa tak leh nampak Boboboy?" tanya Aimin padaku.

"Habis kuota, kot," Aku terkikik geli mendapati Aimin yang sedang kesal dengan ponsel di tangannya. Tadi ia mengamuk minta diberikan ponsel, alhasil aku memberinya. Namun, aku menghidupkan mode pesawat dulu di ponsel tersebut agar jangkauan internetnya tidak berjalan.

"Tak guna lah!"

Aimin marah, ia melempar ponselku ke dinding. Aku jelas ikutan naik darah. Itu ponselku, kalau rusak belum tentu bang Zulfan mau menggantinya dengan yang baru.

"Heh, siapa yang ajarin kamu begitu? Main lempar-lempar aja!"

Aku mendekat dan ingin menghukum Aimin. Setidaknya mencubit lengannya agar anak itu tidak lagi bertingkah sesukanya. Namun, suara orang memberi salam di depan membuatku urung.

Aku bergerak memakai cardigan dan memasang kerudung di kepala, lalu bergegas menuju pintu depan. Mungkin saja itu adalah delivery makanan yang akan mengantar sarapan untukku, karena tadi aku sedang tidak ingin memasak. Bukan malas ya, tapi tidak ingin. Hahaha.

Aku membuka kunci dan memutar gagang pintu. Mataku terbelalak ketika mendapati sosok bang Zulfan.

Sorot matanya mengisyaratkan bahwa ia sedang menahan kesal. Rambutnya urakan, kemejanya tak rapi. Aku jadi keheranan, tetapi tidak berani bertanya. Ku ulurkan tangan untuk bersalaman, tetapi ia menepisnya kasar. Kesambet setan apa suamiku hari ini?

DEAR, HEART! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang