Chapter 2

1.2K 150 24
                                    

Bang Zulfan menatapku tajam ketika sudah berdiri di depan. Ia malu menjadi sorotan.

Kenapa terjerit-jerit macam tu, Sayang? Ni tempat ramai lah,” bang Zulfan menggendong Aimin dan mencium wajah anak itu sampai beberapa titik.

Sementara aku hanya bergeming, masih syok dengan pemandangan hari ini. Katanya rapat dengan orang penting kampus tempatnya mengajar, tapi kenapa dirinya berduaan dengan perempuan di restoran ini?

Mommy yang suruh Aimin panggil Daddy tadi,” balas Aimin ketika wajahnya berhenti dicium ayahnya.

Awak buat apa kat sini?” tanya bang Zulfan yang mulai melirikku. Aku balas menatap dengan tatapan maut dan dagu sedikit naik.

“Abang sendiri ngapain? Berdua sama perempuan lagi! Pantesan aku nggak pernah diizinkan keluar rumah. Rupanya biar nggak ketahuan kelakuannya,” rasanya aku ingin menangis bila mengingat-ingat semua itu.

Eh tak de la. Itu kawan Abang,” ia menyangkal.

“Katanya lagi rapat sama orang kampus, kok cuma berdua?”

Tadi kitorang memang meeting dekat sini. Tapi diorang dah balek dah,”

“Abang sendiri kenapa masih di sini?” aku tidak henti-hentinya bertanya. Mentang-mentang ini negaranya, ia berlaku seenaknya.

Aku kesal kalau bang Zulfan sudah berani macam-macam. Belum lagi perempuan itu begitu cantik dan terlihat well educated, membuatku insecure dan takut bang Zulfan akan berpaling.

Perempuan bersetelan kantor itu hanya menatap dan tersenyum kikuk padaku. Aku melirik bang Zulfan yang masih terus mencoba menjelaskan agar aku mau percaya padanya.

Abang lapar, so Abang terniat lunch dulu la tadi. Sebab lepas ni mesti balek collage lagi. Kawan-kawan Abang yang lain tak balek collage, terus pulang,”

Bang Zulfan kembali bersuara apabila melihatku hanya diam sembari menggigit bibir.

Sayang, awak nak makan sekali tak? Jom kita makan sekarang! Nanti awak boleh berkenalan dengan kawan Abang biar tak salah paham,”

“Aku juga laper sebenarnya, tapi seketika mood makan hilang ngeliat Abang sama perempuan itu,” bukan itu saja alasanku, aku jadi tidak bisa makan pedas kalau ada bang Zulfan. Ia pasti akan melarangku.

Oke, kalau macam tu, awak boleh pulang la,” dia mengusirku?

“Anterin!”

Tak boleh, kejap lagi Abang mesti balek collage. Takut jem pulak kalau hantar awak,

“Ya udah kalau gitu Aimin aku telantarkan di tempat ini,” ancamku.

Bang Zulfan menatapku tajam. “Hei! Sampai hati awak?

“Anterin atau nggak? Abang kok nggak perhatian banget sama istri dan anak sendiri? Aku lagi hamil, kecapean. Aimin juga mau ngantuk. Kok Abang nggak ada rasa peduli sama kami?” Aku tidak tahu kenapa bisa berbicara sedramatis ini sekarang. Intinya bang Zulfan harus mengantarku pulang. Aku tidak rela dirinya makan dengan perempuan itu.

Bang Zulfan menurunkan Aimin dari gendongannya, lalu berbalik badan memasuki restoran itu kembali. Meninggalkan aku dan Aimin yang sudah seperti gembel. Aku tidak mau jadi pemeran protagonis seperti di film-film azab yang bisanya cuma menangis jika suaminya berkhianat. Sontak aku berteriak memanggil-manggil namanya.

“Bang Zulfan!!!”

Sabarlah, Abang ambik bag dulu!!!” balas bang Zulfan sembari menahan malu karena dirinya kembali menjadi pusat perhatian. Biar saja dia malu, ini sebagai peringatan bahwa aku tidak suka kalau ia diam-diam bertemu dengan orang lain.

DEAR, HEART! ✔Where stories live. Discover now