Chapter 15

391 92 8
                                    

Aku mematikan suara musik yang memekakkan telinga di cafe ketika sudah terdengar seruan azan dari masjid terdekat. Ternyata sudah waktunya salat zuhur saja.

Aku heran, kenapa di cafe identik dengan musik-musik dan suaranya terdengar begitu ingar bingar seperti ada konser saja. Apalagi jika di playlist sedang diputar lagu-lagu barat, wah, tambah kencang volumenya.

Apakah seagung itu lagu barat di hati manusia?

Tidak, aku tidak ingin menghakimi. Biarlah mereka memikirkan sendiri. Yang aku resahkan, ketika ngobrolnya itu lho. Jadinya harus teriak-teriak ketika berbicara.

Untung saja di cafe terdapat daftar menu dan pengunjung bisa menuliskan sendiri apa yang ingin di-order. Jika tidak, otomatis akan salah dalam menyajikan pesanan.

Aku menghela napas. Baru setengah hari, tapi ternyata lelah juga bekerja di cafe yang ramai pengunjung ini. Banyak sekali anak muda yang datang berkelompok untuk berdiskusi maupun mabar, main bareng katanya.

Lucu ya, kalau zaman dulu anak muda berkumpul untuk bermain game secara nyata. Sekarang, berkumpul untuk bermain game di dunia maya. Aneh memang, tapi itulah kenyataan.

"Qila, istirahat aja. Belum salat zuhur juga, kan?" Daniel tiba-tiba menghampiri seperti jelangkung. Ngagetin!

Kebetulan aku sedang datang tamu bulanan, jadi tidak diwajibkan salat. Jangan-jangan sebab itu juga kemarin emosiku tidak tertahan dan mengambil tindakan ini. Meninggalkan dua anak pada suami seperti bang Zulfan.

"Oke. Aku mau nelfon suami dulu,"

"Katanya lagi marahan?"

"Nggak, mau nanyain Ameer sama Aimin,"

"Mereka ada di depan tuh," ujar Daniel seraya menunjuk ke halaman depan cafe. Tentu saja nggak kelihatan oleh mata ini, karena dibatasi oleh tembok dan badan-badan manusia yang mengunjungi cafe.

"Datang sama siapa?" tanyaku yang penasaran, tapi enggan menemui mereka. Harga diri aku masih diinjak-injak bang Zulfan. Tolong. Dia harus minta maaf dulu.

"Mending kamu ke depan. Eh tapi kamu udah tenang kan? Jangan malah berantem nantinya,"

"Demi anak-anak aku harus turunin ego, sih," cicitku. Habis itu sampai rumah berantem lagi sama bang Zulfan.

"Sayang," panggil bang Zulfan dengan senyuman termanisnya. Ia duduk di salah satu meja di bagian outdoor. Mungkin biar tidak kepanasan dan kebisingan juga.

Ia memegang lenganku dan menatapku dengan senyuman yang terlukis di bibirnya. Nggak, jangan sampai aku terpengaruh. Dia suami yang jahat, saudara-saudara.

Buru-buru aku melepaskan tangan kekarnya. Ameer yang berada di kereta bayi aku raih dan mengecup puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang.

Wangi. Ameer wangi sekali hari ini. Aku jadi ketagihan untuk mencium wajah dan pakaian Ameer juga. Bayi itu juga tidak protes, menikmati sekali.

"Siapa yang mandiin Ameer?"

"Eumm of course la Abang yang mandikan,"

"Jawabnya lama. Pasti bohong,"

"Tadi Nursya tolongkan,"

Dengan gerak cepat aku menidurkan Ameer kembali dalam keretanya. Lalu menatap bang Zulfan dengan tatapan maut dan berteriak keras.

"What???"

"Sayang, tolong faham sikit. Ameer tu masih bayi, Abang susah nak mandikan dia seorang-seorang. Abang minta tolong Nursya la, kan dia jiran kita," Pria itu minta dipahami.

"Jadi mandiin Ameer bareng Nursya tadi? Bagus ya!"

"Salah awak. Siapa suruh pergi pagi-pagi buta dari rumah?"

Hei, bukannya mendapat ucapan maaf, dia malah tambah menyalahkan aku.

Aku menghela napas. Lalu melirik ke sekeliling karena belum menemukan Aimin.

"Aimin tengah main tu," tunjuk bang Zulfan dengan memonyongkan bibirnya. Di depan cafe terdapat taman kecil dan kolam ikan. Aimin sedang memanjakan mata dengan ikan warna-warni di situ.

Aku melirik Aimin sekali lagi. Mataku terbelalak ketika melihat penampilan Aimin hari ini. Ya, aku takjub sekali. Baju warna biru, celana kuning, ikat rambut merah, sandal hijau? Oh my Lord, mirip anak kurang perhatian orang tua.

"Aimin kok bisa begini, sih, Sayang?" aku menghampirinya dan menggeleng kepala. Aimin hanya diam, dia sedang tidak banyak bicara karena belum begitu sembuh dari sakitnya.

"Sekarang ikut Abang. Pulang!" Tegas bang Zulfan yang tau-tau sudah berada di sebelahku bersama Ameer.

Aku menggeleng cepat. Aku tidak ingin pulang. Rencanaku untuk jadi wanita karir harus terwujudkan.

"So, awak nak apa sekarang ini?"

"Aku mau Abang minta maaf, menyesali, dan berjanji nggak akan meremehkan aku lagi. Aku capek lho, Bang! Aku juga mau dihargai! Abang harus bilang kalau aku satu-satunya perempuan terbaik di kehidupan Abang,"

"Banyak kali dah Abang minta maaf dekat chat. Awak tak buka phone,"

"Nggak bisa gitu! Harus minta maaf langsung!"

"Kalau nak yang langsung nanti kat rumah je," katanya seraya mengedipkan mata. Maksudnya apaan sih? Jangan sampai pikiran aku travelling, eh overthinking.

"Jom balik,"

"Nggak,"

"Mommy, Aimin nak balik. Aimin penat," ucap Aimin sendu. Aku kasihan pada Aimin, tapi aku masih kesal pada bang Zulfan.

"Aimin pulang aja sama daddy,"

"Awak betul tak nak balik? Oke, Abang nak jumpa Nursya, nak makan sama,"

"Nggak boleh!!!" 

Aku mengejarnya. Itu tidak boleh terjadi. Bang Zulfan cuma milik aku, nggak boleh ada yang ambil. Lelaki itu tersenyum senang karena aku mengejarnya. Ih, ngeselin!

DEAR, HEART! ✔Место, где живут истории. Откройте их для себя