Chapter 14

513 113 12
                                    

Aku sedang kelimpungan mencari kontak bang Zulfan untuk ku hubungi. Sudah sesore ini ayah dua anak itu belum juga pulang. Padahal Aimin sedang kurang sehat dan Ameer menangis terus-terusan.

Di waktu yang sama, lampu mati. Mereka kepanasan, aku juga kesusahan mencari sinyal untuk menghubungi sang suami yang entah di mana saat ini berada.

Terpaksa mengabaikan mereka yang menangis, aku ke halaman belakang untuk mendapatkan jaringan. Baru saja aku ingin menelpon bang Zulfan, tetapi lelaki itu sudah duluan ada di hadapanku dengan raut wajah tak dapat didefinisikan.

"Anak menangis, awak asyik dengan phone je?" tuduhnya yang membuatku perlu mencubit mulutnya.

"Nggak gitu...."

"Aimin itu tengah sakit. Ameer pula tak boleh jauh dari awak. Kenapa awak asyik kat luar?" Tanya bang Zulfan yang membuat kedua mataku menyipit. Kenapa dia sudah pandai memfitnah?

"Aku tadi mau hubungi Abang lho,"

"Abang tak percaya! Awak memang pandai buat alasan. Rumah tak pernah kemas, masak tak reti, baju tak nak basuh, anak pula tak boleh uruskan. Nak jadi apa awak ni?"

Lho, kenapa dia yang marah-marah? Dan, apa tadi? Berani sekali dia mengungkit semua itu? Bukannya selama ini fine-fine saja?

"Aku udah berusaha buat tenangin mereka berdua ya!" Perlu diingat, aku sudah malas menyebut namanya jika sudah kesal.

"So, apa sekarang ni? Mereka dah tenang ke? Perempuan macam awak, memang tak boleh nak harap apa-apa!" Menurutku itu merupakan sebuah bentuk pernyataan yang paling menyakitkan untuk ku dengar.

Seketika aku ikut naik pitam. Aku tidak perduli apakah hari ini ia melewati hari sulit atau tidak. Namun, kata-katanya terdengar menyesakkan di gendang telingaku ini.

Aku menatapnya lamat-lamat, bibirku sudah bergetar. "Sekarang coba Abang yang duduk di posisi aku. Sehari aja!" Ucapku penuh frustrasi.

Aku menangis, lalu masuk dan membanting pintu. Terkadang, aku memang selemah itu. Ada beberapa part yang membuatku menangis ketika menghadapi bang Zulfan.

Lelaki itu mengabaikan aku. Dia lebih memilih untuk menidurkan Ameer dan memeluk Aimin yang sedang demam. Dia bahkan tidak mengajakku berbicara apalagi meminta maaf atas kata-katanya barusan.

Menghapus air mata yang bersisa, aku menuju kamar mandi untuk membersihkan badan dan salat ashar. Sudah hampir magrib sebenarnya, semoga Allah memafkan aku yang terlambat menunaikan kewajiban karena seharian ini harus menjaga anak-anak.

Bahkan untuk masak saja aku hampir tidak sempat. Namun, aku tetap menyiapkan makanan agar ketika bang Zulfan pulang ia bisa mencicipi masakanku. Karena aku tahu, dirinya tidak begitu suka makan di luar. Untuk makan siang saja ia selalu membawa bekal dari rumah.

Namun, apa yang aku dapatkan tidak setimpal. Dirinya marah padaku dan menganggapku tidak becus. Dia bilang aku nggak bisa masak, nggak bisa nyuci, dan nggak bisa jagain anaknya.

Selagi mandi, air mata ini terus saja menetes. Aku tidak tahu kenapa bisa sesensitif itu hari ini. Intinya kata-kata bang Zulfan tadi terlalu menyakitkan!

***

Hari ini aku seakan melihat Aya Aqila di masa lima tahun lalu. Seorang gadis yang begitu ambis, dengan pakaian kasual layaknya anak muda zaman sekarang. Aku rindu masa-masa kuliah di mana aku bebas bergerak dan bepergian ke mana saja. Tidak seperti sekarang yang hidup dalam kekangan suami.

Kalau dipikir-pikir, kenapa orang-orang sekarang pada ngebet nikah padahal orang itu belum tentu siap mental? Mereka kira cinta dan keelokan fisik saja sudah cukup untuk dijadikan modal membangun rumah tangga. Nyatanya, jika belum pandai mengatur emosi saja, bisa-bisa kita malah terseret ke jalan yang tidak diinginkan.

DEAR, HEART! ✔Where stories live. Discover now