Chapter 23

342 85 24
                                    

Hari ini kebetulan pekerjaanku nggak terlalu banyak. Bahkan tadi pagi bang Zulfan berinisiatif menyiapkan sarapan dan menyuapi makan Aimin.

Aku membuka laptop, berencana memindahkan file-file dari hp ke laptop. Penyimpanan ponselku sudah berat dengan foto dan video Ameer semenjak anak itu lahir. Tidak tahu kenapa, bagiku adalah sebuah keseruan ketika mengabadikan setiap perkembangan Ameer.

Dari sejak anak itu lahir, menangis ketika dimandikan, bisa tersenyum,  merangkak, dan berbagai momen lucu lainnya. Biasanya juga, Aimin selalu gemar mengambil gambar yang hasilnya kadang gelap gulita, kadang blur, dan entah ketidakjelasan yang bagaimana lagi. Itulah salah dua dari penyebab penuhnya muatan di ponselku. Ah, biarkan saja. Mungkin di masa yang akan datang dia akan menjadi fotografer estetik.

Setelah memindahkan video-video itu, aku iseng membuka google drive di laptop. Di sana juga sudah ada banyak sekali foto-foto lawas. Aku memang biasanya menyimpan foto-foto penting di sana. Kalau ponsel hilang atau dijual, aku masih bisa tetap melihat foto-foto yang kusimpan di situ asalkan masih ingat email dan password-nya.

Di sana aku membuat beberapa folder. Ada foto, video, juga dokumen penting lainnya. Aku seakan menjelajah masa lalu. Dulu aku begitu ambis, mengikuti lomba, event, webinar, dan lain sebagainya. Sekarang semua itu hanyalah cerita masa  lalu. Di sinilah aku, dengan gelar A2 alias anak dua, bukan dengan gelar minimal S2 seperti harapanku.

Aku tidak bisa menghentikan diriku dari membuka dokumen-dokumen itu. Bahkan berapa tes TOEFL yang sudah aku persiapkan. Aku rela mengikuti les dan tes TOEFL berkali-kali agar bisa memenuhi standar mendapat beasiswa kuliah di luar negeri.

Air mataku merembes. Aku selemah itu ketika menyadari bahwa semua mimpi itu harus aku kubur dalam-dalam. Kini aku sudah punya tanggung jawab lain dan aku sudah menjadi milik orang lain. Aku tidak lagi sebebas ketika diriku sebelum menikah.

Aku tidak berani menyalahkan siapapun dalam hal ini. Mungkin aku belum beruntung. Siapa tahu Allah sudah menyiapkan yang lebih baik untukku.

Sayang, are you oke?

Aku cepat-cepat mengusap air mataku. Baru tersadar kalau bang Zulfan belum berangkat ke kampus. Dia baru saja bersiap dan barusan sedang memakaikan pakaian untuk Aimin.

Kenapa menangis? Tengah nonton drama ke?

“Sejak kapan aku suka nonton drama dan mengeluarkan air mata untuk itu?” tanyaku tak suka akan ketidakpekaan dirinya.

Dirinya mendekat dan menatap layar laptopku yang usang. Aku segera menekan tombol minimize untuk segera keluar dari sana. Sehingga yang terpampang kini adalah wallpaper laptop itu.

Awak serius ke, nak sambung magister?” tanyanya yang sempat melihat tampilan layar laptop tadi.

“Tapi sampai aku menangis darah pun Abang nggak bakal ngizinin,”

Kalau awak nak pergi, pergilah sambung belajar,” ucapnya kemudian.

“Dan setelah itu Abang nggak akan nganggap aku istri lagi?” aku bertanya dengan tatapan tajam kuhadirkan.

Abang izinkan, tapi awak kena betul-betul belajar dan selesaikan dengan cepat. Dua tahun cukup, tak?

Aku seketika terbelalak. Ini dia beneran serius apa bercanda? “Terus nanti anak-anak gimana?”

Bukan ke tidak setiap harinya pergi study? Dalam satu pekan, may be ada dua hari je masuk collage. So nanti anak-anak boleh Abang yang jagakan. Atau kita boleh minta tolong kak Tun lagi. Sebab anak-anak dah selesa tinggal dengan kak Tun,

DEAR, HEART! ✔Where stories live. Discover now