Chapter 27

511 79 9
                                    

Aku pada akhirnya mendatangi kediaman Zafriel. Ternyata dia tidak ada di rumah sejak beberapa hari lalu. Pembantunya bilang, Zafriel sedang pergi ke suatu tempat. Oke, sinkron dengan apa yang Hasna bilang.

“Saya teman dekatnya, apa Zafriel sempat bilang ke mana perginya? Tolong jujur. Bukankah waktu itu saya pernah dibawa ke sini sama Zafriel dan jumpa sama umminya?” ujarku coba meyakinkan wanita yang tengah memegang sapu itu. Dia tampak sedang beres-beres rumah begitu aku tiba di sana.

Tuan pulang kampung. Ke rumah Ummi,”

Aku mendesah pelan. “Boleh saya tahu alamatnya?” pintaku dengan nada memohon. Berharap kalau anak-anak memang sedang bersama Zafriel. Setidaknya itu harapan terakhir aku.

Sorry, Cik, saya tak boleh bagi,

Aku menggigit bibir. Dengan cara apa aku mencari lelaki itu. “Sejak kapan dia pergi?”

Tiga hari lepas,”

“Pagi, sore, atau malam?”

“Dalam waktu petang,” waktu kepergiannya kurasa bersamaan dengan waktu kehilangan anak-anak. Apakah memang benar-benar dia pelakunya? Kenapa harus menculik anak kecil yang justru membuatnya kerepotan kalau memang dia ingin balas dendam padaku?

“Sekarang coba call Zafriel, saya mau bicara. Ini penting,”

Minta maaf, Cik. Tuan tak bolehkan saya call. Tuan suruh saya tunggu dia yang call lebih dulu,” perempuan itu bersuara dengan berat hati.

Aku harus bagaimana? Aku sama sekali tidak tahu alamat Zafriel di kampungnya.

Perempuan itu mengabaikan aku, kembali sibuk menyapu halaman Zafriel yang sebenarnya menurutku masih begitu bersih. Apa Zafriel terlalu banyak uang sampai menggaji IRT sebegitunya?

"Kamu memang nggak tahu apa-apa soal Zafriel? Sebelumnya Zafriel juga seperti ini kalau mau pulang kampung? Dia akan susah dihubungi?" aku kembali melontarkan tanya. Diriku tidak akan pulang sebelum menemukan jalan.

"Cik, tolonglah, Cik. Saya tak boleh nak jawab semua soalan Cik," dia mulai risi. Namun, membuatku jadi curiga kalau memang ada sesuatu.

“Sekarang coba telfon dia. Kalau kamu nggak telfon Zafriel sekarang juga, kamu juga akan saya masukkan ke penjara kayak Nursya!” tengking diriku yang sudah kehabisan sabar.

Pembantu itu tampak ketakutan dengan intonasi bicaraku yang lumayan tinggi. Dia buru-buru berlari ke dalam. Aku mengikutinya. Ternyata dia masuk untuk mengambil ponsel. Lalu menghubungi majikannya. Aku merebut ponsel itu darinya begitu panggilan tersambung.

Pekak ke apa? Saya dah cakap jangan call saya dulu kalau …” suara itu menyerang gendang telingaku ketika pertama kali panggilan tersambung.

“Halo, ini aku. Aqila,”

Zafriel tertawa kencang. “Hai, dear. How are you?

“Mana anak aku? Kembalikan sekarang juga!”

Anak awak? Kenapa tanya saya ni?

“Aku udah tau semuanya Zafriel. Pembantu kamu yang bilang,” kataku sok tahu.

Kurang ajar betul! Tak guna!” dia mengelurkan sumpah serapah untuk pembantunya. Atau mungkin sekalian untukku?

"MANA ANAK AKU???" teriakku yang sudah tidak tahan. Pembantu itu tampak terkejut menatapku. Zafriel malah tertawa semakin kencang di balik telepon.

So, awak dah tahu lah kan, apa kesalahan awak,” ucapnya yang lirih namun menusuk.

“Kalau permasalahannya dari aku, siksa aku, bukan anak aku. Kamu sama istri kamu itu sama-sama gila, nggak sadar sama kesalahan masing-masing! Mana anak aku?” tanyaku mengulang kembali.

DEAR, HEART! ✔Where stories live. Discover now