Chapter 30

1K 107 52
                                    

Pagi-pagi sekali aku pulang diantar oleh Daniel. Sementara Hasna tetap di rumah untuk beberes. Aku bersyukur mereka berdua sudah berbaikan kembali. Daniel memang lelaki yang baik, dia begitu mencintai dan menjaga perasaan istrinya. Walaupun Hasna divonis tidak dapat memiliki keturunan, dia tetap masih begitu cinta.

"Aku menyesal, Qila. Harusnya aku nikahin dia dari awal, biar bisa jaga dia. Bukan malah pacaran dulu, baru nikah kemudian. Harusnya di masa kuliah dulu aku nggak biarin dia minum minuman bersoda. Aku nggak bakal biarin dia makan sembarangan, makan pedas. Sekarang malah begini jadinya," keluh Daniel menyesali diri.

Sekarang aku baru paham, kenapa sejak awal menikah bang Zulfan selalu menjaga makananku. Dia selalu melarangku makan makanan pedas dan instan. Ah, lagi-lagi tentang dia. Mungkin foto-foto itu atas kesalahpahaman. Sebaiknya aku dengarkan dulu semuanya dari mulutnya. Aku terlalu kekanakan mengambil keputusan dengan langsung lari begitu saja.

"Ngomong-ngomong, kenapa tadi malam kamu datang? Hasna bilang, dia nggak nyuruh kamu," Daniel bersuara kembali selepas sepersekian detik kami diam.

"Kalau aku nggak datang, yakin kalian sekarang udah baikan?" tanyaku balik. Daniel hanya cengengesan.

"Thanks Aqila, udah jadi penyelamat hubungan kami. Tapi ... aku masih penasaran kenapa tiba-tiba kamu ada di sana. Aku rasa nggak kebetulan deh. Terus tadi malam Zulfan nelpon aku nanyain kamu," jelas Daniel. Kali ini tidak boleh sampai ketahuan, aku harus punya sejuta alternatif untuk membantah apa yang dikatakan Daniel.

"Udah takdir malaikat suruh aku datang jumpai kalian. Di rumah kalian itu banyak setannya. Aku lihat gelap banget keadaan!"

"Ye!!" dia mengangkat sebelah tangan ke arahku. Hampir saja ia memukul lenganku kalau aku tidak mengelak.

Mobil diberhentikan di pinggir jalan. Aku baru tersadar kalau ternyata kami sudah sampai.

"Kalau emang permasalahan kalian terlalu besar, pikirkan lagi bahwa kalian punya anak-anak yang harus dibahagiakan," pesan Daniel. Aku hanya tersenyum hambar lalu segera turun, sedangkan Daniel langsung pergi karena harus berbelanja untuk keperluan kafe.

Baru berdiri di halaman, suasana sudah rapi dan bersih kembali. Tidak seperti tadi malam ketika makanannya aku buat berantakan. Waduh, sudah rugi berapa tadi malam? Capek-capek bakar ayam malah aku buang.

Salah satu sifat yang kubenci dari diriku sendiri ya ini, sifat kekanak-kanakan. Aku suka mengambil tindakan tanpa memikirkan resikonya. Entah bagaimana keadaan Ameer tadi malam. Kalau Aimin sudah lumayan mandiri jadi tidak terlalu takut bila kutinggalkan. Dirinya juga bisa berbicara jika membutuhkan sesuatu. Sementara Ameer, masih bayi dan belum ada kemampuan berbicara.

Aku melangkah cepat. Pintu depan tampak terbuka. Kemudian sedikit melongok ke dalam, di sana tampak Nursya yang sedang menggendong Ameer.

Apa? Aku mengucek mataku sekali lagi. Mungkin karena faktor kurang tidur dan sibuk menangis semalaman.

Benar, itu memang Nursya.

Belum 24 jam aku kabur, sudah tergantikan saja dengan perempuan itu? Zafriel juga kemana, kenapa tidak bawa istrinya pulang kampung saja? Apa Zafriel baru sadar kalau Nursya bukan perempuan baik-baik? Mungkin baru kali ini Zafriel menyesal dan meninggalkan Nursya begitu saja. Dia lebih memilih merawat umminya.

Aku mengangkat wajah dan berdiri tegak, lantas masuk ke rumahku. Ingat, itu masih rumahku, tidak boleh ada wanita manapun yang beraninya menginjakkan kaki ke sini selagi aku dan bang Zulfan masih berstatus suami istri.

Nursya awalnya kaget mendapati aku, dia tersenyum tipis padaku. Mau mengejekku kalau dia mulai berhasil mendapatkan bang Zulfan? Ambil saja, ambil! Aku juga pengen berpisah kalau sudah begini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DEAR, HEART! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang