Chapter 7. Warning Sign

1.5K 521 47
                                    

"Makasih, Fany

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

"Makasih, Fany. Bilang sama Si Ayah, besok kalau bisa antar bala-bala semua, ya?" pinta Wa Enti.

"Berapa, Wa?" tanya Tiffany.

"Sama." Wa Enti memberikan uang pembelian gorengan sekalian ongkos pulang dan pergi Tiffany.

"Ma! Mana rok seragam?" teriak anak perempuan Wa Enti, Maira namanya. Ia sekolah di SMA Negeri favorit.

"Iya bentar!" balas Wa Enti.

Maira melirik keluar pintu. "Dih, ada anak tukang gorengan ke sini!" ledeknya. Tiffany menyipitkan mata. Ingin dia memukul sepupunya itu. Namun, ayah sudah pernah bilang kalau Maira bukan lawan. Anak itu sering dibela orang tuanya yang tidak lain kakaknya Ayah.

"Aku pulang, Wa. Assalamu'alaikum." Tiffany lekas turun dari teras dan memakai sandalnya. Rumah Uwa atau Tante dalam bahasa sunda ada di komplek. Dia memang punya takdir yang berbeda dengan ayah Tiffany. Suaminya seorang pegawai kantor pemerintahan.

Tiffany menatap sandal jepit yang ia kenakan. "Enak banget jadi Maira. Mau apa-apa saja diambilin," keluhnya. Kini ia mendongak menatap langit. "Anak orang mau sekolah saja nggak usah mikirin belajar. Aku kalau nggak belajar, nanti nggak bisa dapet beasiswa. Nggak dapet beasiswa, nggak bisa sekolah." Napasnya terdengar berat.

Tiba di pinggir jalan, Tiffany naik angkot warna kuning

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Tiba di pinggir jalan, Tiffany naik angkot warna kuning. Duduk di kendaraan umum itu, ia sempat melihat ke luar jendela. Matanya terpaku pada barisan ruko yang tutup. "Dylano?"

Pria yang menggeparkan sekolah itu sedang duduk berjongkok dengan beberapa pria berpakaian hitam

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Pria yang menggeparkan sekolah itu sedang duduk berjongkok dengan beberapa pria berpakaian hitam. Di tangannya ada sebatang rokok. "Dia bandel banget! Ngapain dia sama anak jalanan? Bukannya dia anak orang kaya?" Seaneh apa pun keajaiban di dunia, lebih aneh melihat anak keluarga Khani nongkrong di pinggir jalan.

Tiffany ingat saat Dylano membeli cireng. "Kayaknya dia emang sudah biasa kayak gitu. Bodo amat, lah! Jangan mau tahu urusan dia!" Tiffany bergidik ngeri.

Angkot itu berlalu. "Kiri, Mang!" seru Tiffany. Angkot berhenti tepat di depan gerobak gorengan Jatmika. Gadis itu turun dan membayar ongkos angkot.

Tiba di gerobak, Ayah masih sibuk menggoreng, sedang Bunda memasukan gorengan pesanan pembeli ke dalam kantung kertas.

"Sudah pulang, Nak?" tanya Bunda.

Tiffany mencium punggung tangan Bundanya. Ia duduk di depan Bunda sambil memberikan uang dari Wa Enti. "Bun, aku mau tanya boleh?" tanya Tiffany.

"Apa?" Bunda memasukan cabe rawit hijau ke dalam keresek gorengan.

"Di sekolahku ada siswa. Nakal banget dia, Bunda. Guru-guru saja kewalahan. Mau dikeluarin, pihak sekolah malu. Masa nggak bisa nanganin anak macam begitu, padahal sekolah elite, 'kan?" cerita Tiffany.

"Laki-laki apa perempuan?" Ayah ikut dalam obrolan.

"Cowok, Yah. Ke sekolah dia kesiangan. Mending kalau telat lima menit. Mana kadang abis zuhur baru dateng. Kalau nggak dibukain gerbang, dia tabrak gerbang sekolah. Waktu kapan malah lebih parah, ban mobil senior dia bakar di kelas."

"Ya Allah, itu anak kerasukan kali, ya?" komentar Ayah.

Tiffany mengangguk saja. "Apa dia anak genderewo?"

"Hus, jangan gitu. Anak nakal pasti ada alesannya. Mungkin dia jarang diperhatikan sama orang tua, jadinya cari perhatian."

Tiffany ber-oh. "Pantesan tadi aku lihat dia nongkrong sama pengamen yang suka pakek baju item semua. Kalau orang tuanya perhatian, pasti sudah dicariin, dong!"

"Sudah angkat tangan mungkin orang tuanya juga. Biasanya anak orang kaya, suka dilarang gaul sama orang miskin, 'kan?" Ayah mengambil gehu dan memakannya.

Tangan Tiffany menggaruk kening. "Aku dengar dari Irma teman aku, katanya emang orang tuanya sudah nggak mau ngurus karena pusing. Jadi paling dikasih uang saja, mau gimana pun masa bodo. Padahal banyak orang pengen kayak dia, malah dia hidup belangsak begitu."

"Makanya syukur kamu dikasih sifat yang baik dari lahir, pertahankan. Orang lain mau jadi baik saja susah, 'kan?" nasihat Ayah.

"Iya." Tiffany berdiri. Ia menguap. "Aku pulang, ya? Ngantuk."

"Iya, besok sekolah. Bisa kena marah kamu kalau kesiangan. Apalagi kalau Zuhur baru ke sekolah," timpal Bunda.

Tiffany nyengir. Ia lekas masuk ke dalam gang yang tak jauh dengan gerobak gorengan Ayah. Jalanan gang tak terlalu besar, hanya satu setengah meter. Tiba di barisan rumah kontrakan, Tiffany masuk ke pintu rumah nomor dua.

Ada Davis sedang membaca buku kuliah. Besok dia ada kuis. "Baru pulang, Dek?" tanya pria yang baru duduk di semester empat itu.

"Iya, tadi anter gorengan ke rumah Wa Enti. Malah dikatain sama Maira aku," adu Tiffany.

"Biar saja, paling dia kesel karena kamu masuk sekolah elite. Sirik," timpal Davis.

Tiffany mengangguk. "Clara tidur?"

"Iya. Tadi tidur di karpet, jadi sama Kakak pindahin, deh."

Tiffany mengangguk. "Ya sudah, Fany juga mau tidur. Malem, Kak!"

Ia pergi ke kamar mandi untuk cuci kaki dan gosok gigi. Hanya ada satu kamar di kontrakan itu dan jadi tempat tidur Tiffany, Clara dan Bunda. Sedang Ayah dan Davis tidur di tengah rumah.

Terlihat Clara sudah tertidur pulas. Tiffany menyelimutinya, takut digigit nyamuk. "Bobok yang nyenyak ya, Dek." Ia kecup kening adiknya yang masih SD itu.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
DylanoDonde viven las historias. Descúbrelo ahora