Chapter 17. Keblinger

1.2K 541 142
                                    

Dan Dylano sukses membuat orang satu pasar ribut dengan sikapnya. Hingga akhirnya Bapak-bapak bergotong royong untuk menurunkan Dylano dari sana. Duduk di dekat gerobak gorengan Jatmika, Dylano diberi air kelapa untuk menetralisir mabuk.

"Ini bakalan berhasil enggak, Yah?" tanya Tiffany.

"Biasanya tiga hari baru hilang kalau sama ginian, Fan. Lagian kamu kenal anak bandel gini dari mana?" tanya Ayah.

Tiffany di sini merasa bingung. Kalau Ayahnya tahu mereka pacaran, pasti Tiffany akan diomeli tujuh hari tujuh malam dan akan dibahas hingga tujuh kehidupan ke depan.

"Dia sama Fany satu sekolah. Ingat anak yang kesiangan sampai Zuhur? Nah, ini anaknya," jelas Tiffany.

"Astaghfirullah. Jadi dia anak orang kaya, dong? Sekolah kamu 'kan sekolah elit," komentar Mang Karna yang berjualan kaos kaki di sana.

"Iya, dia anak orang kaya," jawab Tiffany.

"Kok bisa anak orang kayak makan kecubung? Biasanya beli narkoba yang mahal gitu. Levelnya beda. Untung saja pas makan dia enggak langsung melarat," komentar Ibu penjual nasi goreng.

Tiffany hanya bisa nyengir kuda. Tak ada satu pun telpon masuk ke ponsel Dylano. Di sana Tiffany menarik napas. "Beneran enggak ada yang peduli sama dia, ya?"

Bahkan sampai tengah malam, Bapak-bapak giliran menjaga Dylano. Bukannya tak manusiawi saat Dylano diikat pada lemari. Masalahnya jika tidak begitu, ia bisa kabur sembarangan.

"Belum bisa hubungin keluarganya?" tanya Ayah yang malam itu tak bisa tidur akibat harus memperhatikan Dylano. Sampai besok paginya keadaan Dylano masih belum membaik. Hari kedua dia mulai bisa bicara, tetapi melantur. Apa saja dia bicarakan, termasuk siswi kelas tiga yang menurutnya cantik, tapi jual mahal.

"Rambutnya panjang kayak rapunzel. Cantik banget. Tapi dideketin jual mahal. Masa minta cincin berlian? Dia kira aku pengusaha tambang?" omelnya. Padahal tak ada yang bertanya tentang itu. Sedang Tiffany manyun saja mendengarnya.

Hari ketiga, dia sudah terlihat lebih normal. Sudah bisa makan tanpa disuapi, tetapi kalau naik kursi tiba-tiba dia teriak seakan naik ke atas gedung yang tinggi.

"Aku enggak mau turun! Nanti aku mati! Aku bisa mati!" teriaknya sampai Tiffany tepuk jidat.

"Ayah, itu buah apaan sih? Orang bisa dibikin gila sampai berhari-hari."

"Yah, makanya jangan main-main sama hal kayak gitu. Lihat sendiri bagaimana akibatnya. Jadi menyusahkan orang lain."

Tiffany sudah berusaha menanyakan kontak keluarga Dylano pada Lorna dan Irma, sayang mereka juga tak punya. Malah mereka kaget karena Dylano sudah di rumah Tiffany beberapa hari.

"Parah banget tuh anak. Kalau nakal sendiri itu urusan dia. Ini malah nyusahin orang." Lorna mengeluarkan komentar.

"Kamu yang sabar saja, Fan. Keluarganya sudah pusing ngurusin dia. Kayaknya kalau ketemu innalillahiwainnailaihirojiun juga mereka enggak aneh," tambah Irma.

Tiffany menunduk. "Kasian banget dia. Mau dia nakal, dia tetap anak orang tuanya. Memang dia minta dilahirkan. Lagian dia kayak gitu, pasti ada alasannya."

Lorna dan Irma saling tatap. "Fany, kamu enggak kena pelet atau gimana, sih? Kamu sama Si Dylan sudah diapain saja?"

"Aku cuman nyoba mengerti bagian putih dalam hitamnya. Kita kadang sering menilai sesuatu dari satu sudut tanpa menilai sudut lain. Dia memang salah dengan perbuatannya. Namun, orang tuanya juga harus bisa membaca diri."

"Mudah-mudahan saja keluarganya bisa ngehubungi, Fan. Kalau enggak, laporin saja ke pihak sekolah. Biar sekalian ada alasan buat keluarin dia," saran Irma.

Justru itu, Tiffany tak tega jika harus membiarkan Dylano dikeluarkan dari sekolah. Anak itu sudah kekurangan didikan dari orang tua. "Masa dia juga harus kekurangan didikan dari sekolah? Dia butuh orang yang peduli dan bimbing dia, Irma."

Tiba di rumah, Tiffany menyimpan tas di atas meja belajar. Dylano sepertinya dibawa ke gerobak karena tak ada siapapun di rumah. Setelah mandi dan berganti pakaian, Tiffany pergi ke gerobak Ayahnya. Benar saja, Dylano sedang duduk di atas kursi sambil memeluk lutut.

"Kamu sudah makan?" tanya Tiffany melihat mata Dylano yang kosong.

"Tadi temannya datang bawa makanan. Siapa namanya tuh, Kotor?" cerita Ayah.

"Kotor? Masa ada orang namanya Kotor?" tanya Tiffany bingung.

"Ouh, Bentol!" Ayah seakan senang ingat nama teman Dylano walau sebenarnya tetap salah, Bentor bukan Bentol.

"Masih belum ketemu kontak keluarganya?" tanya Ayah.

"Belum, Yah. Sudah Tiffany tanya ke sana ke mari. Mau tanya sama pihak sekolah juga kasihan, takut dia dikeluarkan. Tiffany harus gimana, Yah?"

"Besok juga sadar. Ayah tanya sama si Rustam! Dia jagonya mabok. Katanya tiga hari, nanti juga bakalan baik lagi."

Rasanya Tiffany bersyukur, setidaknya dia bisa lekas pulang dan sekolah lagi. Benar saja, pagi itu Dylano bangun. Dia kaget melihat Tiffany sudah duduk di depannya.

"Lah, Beb! Kamu kenapa di sini?" tanya Dylano baru sadar.

"Kamu sudah sadar? Beneran? Coba bangun terus naik ke kursi!" titah Tiffany.

"Kamu ngomong apa, sih? Tiba-tiba ngelantur," komentar Dylano.

Tiffany mengusap dada. "Syukurlah kamu sudah normal. Aku takut, tauk! Tiga hari kamu kayak orang kerasukan sampai dibawa ke orang pinter."

"Apa?" Dylano terbelalak sampai terduduk dan bangun untuk pertama kalinya di bawah pukul sebelas pagi.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
DylanoWhere stories live. Discover now