Chapter 23. Kakak cantik

1.2K 498 84
                                    

Pintu rumah Tiffany diketuk. Saat itu Bunda dan Ayah masih berada di gerobak mereka. Davis seperti biasa lembur di kampus dan pasti pulang ke kosan temannya. Jadilah Tiffany menjaga Clara sendirian di rumah.

Gadis itu berjalan dari kamar ke ruang tengah. Disingkap gorden rumahnya. Ada seorang wanita memakai sandal jepit, celana pendek berbahan jeans dan kaos dengan tulisan 'Gadis Sampul'.

Tangan Tiffany membuka slot pintunya. Begitu gagang pintu ditarik dan daun pintu terbuka, gadis di luar sana tersenyum. Wajahnya ayu sekali khas wanita sunda dengan kulit sawo matang. Matanya terlihat sedikit bulat dan bibirnya merah.

"Hai, aku Ema. Anaknya Bapak Rohman, tempat ibu kamu suka nyuci sama nyetrika baju," ungkap Ema. Senyumnya begitu hangat hingga Tiffany merasa dia wanita yang baik.

"Hai, Kak. Aku Tiffany. Salam kenal," timpal  Tiffany dengan suara kecil karena malu.

"Tiffany, ini Ibu nyuruh aku kirim ini buat Bunda kamu. Terima, ya?" Ema memberikan sebuah keresek.

"Iya, Kak. Makasih banyak."

"Sekalian kata Ibu, besok datang jam sepuluh saja. Soalnya pagi-pagi Ibu mah check up dulu ke dokter," pesan Ema.

"Iya, Kak. Nanti Fany sampaikan sama Bunda."

Setelah itu, Ema langsung pamitan. Tiffany masih menatap ke arah Ema berjalan hingga wanita itu tak terlihat lagi. Barulah Tiffany masuk ke dalam rumah untuk sekalian menghafal pelajarannya.

Esok harinya Tiffany berjalan pergi ke arah Kiara Condong. Tiffany beralasan agar tak lama menunggu karena biasanya angkot ngetem di depan gedung bekas Matahari. Sebenarnya ada seseorang yang menunggu Tiffany di sana, begitu setia menunggu sampai Tiffany tiba.

"Berangkat sekarang?" tanya gadis itu.

"Iya, biar cepet lulus," timpal Dylano. Keduanya menikmati angin di atas motor sport. Tiffany memeluk pinggang Dylano dengan erat.

"Sudah sarapan?" tanya Dylano agak berteriak.

"Sudah, dong."

"Sudah mandi belum?"

"Iya mandi, lah. Kalau enggak mandi nanti bau." Tiffany menyandarkan pipi di punggung Dylano.

"Bagus. Gadis baik harus rajin sarapan dan mandi."

"Makasih."

"Duh ada yang lupa," keluh Dylano.

"Apa?" Tiffany terperanjat. Dia menegakkan kepalanya.

"Lupa kalau hari ini belum bilang, I love you," jawab Dylano sambil tersenyum dengan wajah merona.

"Itu juga makasih."

Akhirnya mereka tiba di sekolah. Sepertinya manusia di sekolah ini sudah mulai terbiasa melihat Dylano datang pagi. Bahkan sudah terbiasa melihat Dylano menuntun Tiffany hingga kelas.

"Belajar yang rajin," pesan Dylano lalu mengecup pipi Tiffany.

Pemandangan itu terlihat oleh Reva dari kejauhan. Wanita itu masih belum bisa menerima apa yang terjadi antara Dylano dan Tiffany. "Ngeselin, ya? Orang miskin itu makin berasa jadi ratu di sini!" ucap salah satu teman Reva dengan nada kesal.

"Pokoknya kita harus bikin mereka putus!" tegas Reva.

"Gimana caranya? Dylano galak banget! Kalau ketahuan kita ngancam si miskin itu, bisa-bisa kita semua dikerjain lagi."

"Kita emang enggak bisa ngancem perempuan itu. Tapi orang tua Dylano bisa. Kita harus beri tahu keluarga Khani."

"Gimana caranya?"

Reva tersenyum licik. "Lewat Papaku, lah. Pokoknya kita bikin perempuan itu pergi dari sekolah ini selamanya. Bikin kotor sekolah saja!"

Tiffany duduk di kursinya. Irma dan Lorna menatap Tiffany tak henti dari sejak di depan pintu hingga duduk. "Kamu kok makin lengket sama dia?" tanya Irma.

Tiffany tak menjawab. Hanya senyum yang terkembang di bibir gadis itu.

"Tuh! Dia senyum-senyum gitu! Jangan bilang kamu sama Dylano sudah beneran suka-sukaan." Irma terdengar sewot.

"Emang Dylano kenapa? Dia baik, kok."

Baik Irma dan Lorna langsung bertepuk tangan. Tiffany bingung sendiri dengan ekspresi mereka. "Kenapa, sih?"

"Kamu tahu enggak kalau dia itu nyeremin?" tanya Lorna.

"Nyeremin gimana?" Tiffany menyipitkan mata.

"Waktu kapan dia enggak masuk sekolah, tahu kenapa?" Irma sedikir berbisik.

"Kenapa?" Tiffany jadi penasaran.

"Dia mukulin anak SMA elite lain. Bahkan sama bodyguard mereka. Sampai dilaporin ke kantor polisi. Cuma. Karena keluarga dia turun tangan, makanya bisa bebas," cerita Lorna.

Tiffany menutup mulutnya saking kaget. Dia sempat melihat ada sedikit memar di tangan Dylano. Saat ditanya, Dylan hanya menjawab karena terbentur meja.

"Terus korbannya gimana?"

"Bonyok, lah. Makanya Si Dylan sampai dilaporin. Emang dia enggak bilang sama kamu?" tanya Irma. Tiffany menggeleng. "Kalian pacaran masa enggak saling terbuka, sih? Harusnya kamu lebih dulu tahu dari ...."

Belum selesai Irma bicara, Tiffany lekas berlari ke luar kelas. Rambutnya yang terurai bergerak-gerak ke sisi kanan dan kiri. Gadis itu melewati lorong demi lorong dan menaiki tangga hingga tiba di sebuah kelas yang di depannya ada balkon luas.

"Dylano!" panggil Tiffany dari pintu.

Mendengar suara kekasihnya, Dylano mendongak. Pria yang tengah mengeluarkan buku itu lekas berdiri dan jalan ke pintu. "Ada apa? Baru juga pisah sudah kangen."

Tiffany memeriksa tubuh Dylano dengan memegang lengan punggung dan wajahnya bergantian. "Kamu baik-baik saja, 'kan?"

"Ada apa, sih?"

"Aku dengar kamu berantem. Kamu enggak kena pukul, 'kan? Kamu enggak sakit, 'kan?" tanya Tiffany.

"Enggak apa-apa, sih. Justru mereka yang babakbelur aku pukulin," jawab Dylano dengan santainya.

Tiffany menggeleng. "Kamu kenapa, sih? Kenapa kamu kayak gitu? Gimana kalau kamu celaka juga? Kamu tahu enggak sih, mungkin saja teman-temannya nanti serang kamu. Kenapa, sih? Kenapa?" tanya Tiffany dengan nada kecewa.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.
DylanoOnde histórias criam vida. Descubra agora