Chapter 42. Keputusan

889 338 27
                                    

"Dylan," panggil kakaknya di telepon.

"Kenapa?" tanya Dylano dengan suara dingin seperti biasa.

"Papa masuk rumah sakit. Kamu enggak telepon dia? Paling enggak tanyain keadaannya. Padahal sekarang kamu anak kebanggaan," sindir kakaknya. Bahkan dari dialog pun terlihat tak ada namanya hubungan keluarga di antara mereka.

Dylano menaikkan sebelah alisnya. "Anak kesayangan? Apa enggak salah sebut?"

"Gunakan sopan santunmu pada orang tua."

"Dia baik-baik saja waktu aku pulang ke sini. Jangan bercanda."

Kakaknya tertawa meledek. "Memang orang sakit direncanakan. Kamu tahu Papa punya penyakit jantung sejak lama. Atau kamu malah enggak tahu?"

"Aku sudah terlanjur ke sini. Ngapain balik lagi. Bilang sama dia, semoga cepat sembuh." Dylano langsung mematikan teleponnya. Pria itu memasukkan ponsel ke dalam jaket. Tiffany melangkah dengan penuh semangat melihat Dylano yang menunggunya di tempat biasa.

Pria itu melambaikan tangan. "Masih kangen enggak?" tanya Dylano sambil tersenyum.

"Siapa yang telepon tadi?" tanya Tiffany.

Dylano menyentuh pipi Tiffany. Terasa dingin pipi gadis itu. "Kamu takut aku ketemu cewek cantik di sana?"

Tiffany mengangguk. "Enggak ketemu cewek cantik?"

"Yang datang ke pemakaman rata-rata ibu-ibu. Masa aku harus PDKT sama mereka? Bisa habis aku dikejar sama suaminya. Mendingan aku setia sama kamu saja."

"Makasih banyak. Ayo ke sekolah. Katanya hari ini kepala sekolah mau kasih kamu penghargaan."

Dylano naik ke atas motor. Tiffany berpegangan ke bahu pria itu dan ikut naik di belakang. Dia peluk erat pinggang Dylano. "Anget," ucap gadis itu.

"Pipi kamu dingin. Pantes, sih. Hari ini agak mendung. Mudah-mudahan enggak hujan sampai kita di sekolah," ucap Dylano.

Motor pria itu meninggalkan tempat tadi berpijak. Kini di atas dua roda yang berputar cinta membawa keduanya pergi ke sekolah. Sampai di parkiran, Tiffany turun. Dia buka helmnya. Seperti biasa Dylano akan merapikan rambut gadis itu.

"Aku senang," ucap Tiffany. Dylano turun dari motor dan melepas helmnya. Kedua helm itu kini terkait di pegangan motor Dylano.

"Karena?" Dylano berpegangan ke atas jok motornya.

"Karena kamu yang jemput aku," jawab Tiffany.

"Memang kalau Ben sama Teddy kenapa?" tanya Dylano.

"Bingung. Mau peluk, pasti kamu marah. Enggak peluk, aku takut jatuh."

"Aku lebih marah kalau kamu jatuh."

"Takut aku terluka?" tanya Tiffany sambil sedikit memiringkan kepalanya.

"Jatuh ke hatinya Teddy atau Ben. Kalau gitu, palingan mereka yang luka," jawab Dylano.

Tiffany manyun. "Enggak berubah!" omel gadis itu lalu berbalik dan melangkah pergi. Dylano menyusul memegang tangannya.

"Wajar aku cemburu. Namanya juga cinta. Apalagi kalau ingat perjuangan dapetinnya. Dari naik motor enggak mau pegangan. Sekali pegangan cuman jiwit sisi jaket. Sampai pegangan meluk erat kayak enggak mau lepas."

"Habis kamu anget," jawab Tiffany sambil tersenyum.

Mereka terdiam melihat dua orang di depan jalan masuk sudah saling tatap. Itu Lorna dan Ben. Sudah tidak heran kalau kelakuan mereka layaknya kucing dan tikus, anjing dan ular pun padi dan rumput.

"Tanggung jawab!" tegas Lorna.

"Dengar ya, Emak! Kamu yang jelas naruh itu sembarangan. Kalau takut kena tendang orang, kamu kekepin! Bukannya disimpan di lantai!" lawan Ben.

"Heh, Kera Sakti! Jelas banget aku simpen di lantai di sisi dinding. Aku berdiri di depan dusnya. Masih saja kamu tendang! Masa badan aku segede gajah gini enggak kelihatan? Sumbangin saja itu mata! Enggak guna!" Lorna kali ini sampai mendorong Ben.

"Kayaknya ini enggak bakalan baik-baik saja," komentar Tiffany. Dylano maju dengan harapan jadi penengah.

"Ngapain juga aku nendang barang punya kamu? Manfaatnya apa?" tanya Ben lebih galak.

"Dari zaman naga enggak bertelur juga kamu sudah suka bikin masalah sama aku!"

"Kepedean! Di dunia ini masih banyak cewek cantik buat digangguin. Ngapain ganggu yang mirip guci teras?"

"Awas, ya!" Lorna menarik dasi Ben. Ben sendiri balas menarik rambut Lorna.

Dylano coba lepaskan tangan keduanya. "Berhenti! Kalian mau dipanggil ke ruang guru lagi!" Sekali dorong mereka langsung terpisah.

"Dia seenak jidat fitnah!" tunjuk Ben.

"Kamu bikin barangku hancur! Dasar enggak punya nyali! Tanggung jawab saja enggak bisa!" serang Lorna.

"Oke. Sekarang berhenti dulu. Jelasin kronologinya. Biar aku bisa bantu putusin. Kalau kalian berantem gini terus, bisa-bisa guru di sekolah sepakat nikahin kalian!" ancam Dylano.
"Ogah! Alergi!" tolak Lorna.

Tiffany naik ke teras. Dia lihat dua dekat Lorna. Isinya maket rumah yang hancur. Kalau tidak salah itu untuk peraga tugas hari ini.
"Lorna, biar Fany bantu benerin. Sudah, ya?" tawar Tiffany.

Lorna menggelengkan kepala. "Enggak mau! Dia yang rusakin, dia harus tanggung jawab!" tunjuk Lorna ke arah Ben.

"Oh, kamu mau benerin ini berduaan sama Ben?" pancing Dylano.

Lorna lekas mengambil dusnya. Dia tarik lengan Tiffany. "Fany, bantu aku," pinta Lorna.

Tiffany melambaikan tangan ke arah Dylano. Kini tinggal Dylano menatap Ben kesal. "Masih sisa lima belas menit ke bel masuk!" sindir Dylano.
"Terus?" tanya Ben bingung.

"Harusnya lima belas menit itu aku masih bisa pacaran. Gara-gara kamu aku kehilangan kesempatan itu!"

Ben nyengir kuda. Dibanding harus habis oleh Dylano, dia lekas lari. Tentu Dylano tak mau kalah. Dia kejar Ben sepanjang jalan. Masa SMA yang indah tanpa beban selain tugas dan ulangan juga putus cinta. Namun, tahun-tahun berikutnya akan jauh lebih berat. Untuk mereka semua.

🍒🍒🍒

DylanoWhere stories live. Discover now