Chapter 20. Kertas dan garis

1.3K 543 177
                                    

Dylano memutar buku pemberian Tiffany yang dia letakan di atas meja dengan jari telunjuknya. Ia bingung, untuk apa buku itu. Apa yang akan dia tulis di sana? Jangankan menulis buku, FB, Twitter, Instagram dia saja isinya hanya kalimat "tidak ada postingan di sini".

Diambilnya pulpen dalam tempat pensil yang tak pernah ia bawa ke sekolah. Dylano duduk bersandar, memikirkan apa yang akan dia tuliskan di sana. Sesekali ia memejamkan mata dan yang terlintas hanya wajah Tiffany.

Aku ingin menyelam dalam otak orang gila
Apa persis seperti waktu aku melihat Tiffany?
Rasanya aku seperti hakim,
Banyak menanyai diriku sendiri
Siapa wanita itu?
Kenapa aku kangen dengannya?
Apa kangen terasa seperti ini?
Aku pernah kangen, tapi rasanya tak seperti kangenku pada Tiffany
Apa rumus matematika berubah hanya karena dia?
Dalam mencintai Tiffany tak ada batas antara teori dan hukum
Apa pun terasa benar, bahkan senyumannya saja
Iya aku mungkin gila

Keesokkan harinya, Dylano pergi ke sekolah. Dan kali ini dia berhasil membuat Pak Satpam kumat lambungnya. Bagaimana tidak, pukul enam pagi motor Dylano sudah nangkring di depan gerobak Jatmika.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Jatmika yang tengah memasang terpal gerobak gorengannya.

"Jemput Tiffany, Yah," jawabnya.

"Enggak boleh! 'Kan aku bilang, anakku enggak aku izinin pacaran. Dia mau fokus sekolah," tegas Jatmika.

"Tapi aku mencintainya," alasan Dylano.

"Kalau kamu cinta, tunggu sampai dia lulus kuliah! Dan paling penting, jadi laki-laki yang baik!" tegas Jatmika.

"Demi putrimu aku rela jadi manusia," jawab Dylano.

Jatmika mematung, dia menaikan alis. "Jadi selama ini dia apa?" pikir Jatmika.

Di saat itu, Tiffany keluar dari gang. Ia kaget melihat Dylano ada di sana. "Kamu ngapain ke sini?" tanya Tiffany.

"Jemput kamu," jawab Dylano.

"Enggak! Naik angkot saja, Neng! Pokoknya Ayah enggak izinin kamu pacaran. Kalau kamu mau pacaran, mendingan kamu berhenti sekolah terus nikah saja!" tegas Ayah.

"Aku siap, Yah," timpal Dylano.

"Bukan sama kamu," tolak Jatmika. Pria itu lekas menghentikan angkot menuju sekolah Tiffany. "Cepat naik! Ini bekelnya," ucap Jatmika sambil memberikan uang dua puluh ribu rupiah yang sebenarnya hanya cukup untuk bayar angkot saja.

Tiffany mengangguk. Ia lekas naik angkot. Dylano mengikuti angkot itu. Setiap angkot berhenti, ia pun berhenti. Dan setiap angkot itu melaju, ia melaju di sampingnya. Pokoknya persis rombongan  Paspampres.

Tiffany melihat dari jendela angkot. Dia tersenyum setiap kali Dylano melambai ke arahnya. "Pak, bawa angkotnya pelan-pelan, ya? Pacar saya ada di dalam. Lecet sedikit saya bakalan demo sama Presiden!" teriak Dylano. Sopir angkot sampai menggelengkan kepala. Sedang Tiffany menunduk malu sampai menutupi wajahnya dengan tas.

Ibu-ibu di sana menatap wanita itu iri. "Neng, kenapa enggak naik motor pacarnya saja? Kasian dia, kayaknya ngarep dipeluk sambil ngebonceng." Bahkan ibu-ibu yang baru pulang dari pasar itu tertawa geli. Sepertinya mereka mengingat masa mereka pacaran dulu. Tiffany hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan.

Tiffany turun dari angkot pertama. Tak lupa ia membayar ongkos. Dylano menepi. "Naik. Aku bawa helm, kok," tawarnya.

"Tapi kata Ayah?"

"Kalau ada, ikutin kata Ayah. Kalau enggak ada, enggak apa-apa selama enggak ketahuan," timpal Dylano. Ia masih mengulurkan helm pada Tiffany. Setelah lama berpikir, Tiffany terima helm itu. Dia naik ke atas motor Dylano dengan berpegangan pada bahu pria itu. "Peluk," tegas Dylano.

"Katanya mau ke sekolah." Tiffany mengedipkan mata.

"Peluk buat pegangan. Siapa yang bilang ngode buat pacaran? Pacaran di pinggir jalan, enggak elegan."

Tiffany memeluk Dylano dari belakang. Seketika motor melaju di bawah pepohonan dan ditemani angin yang lembut. Tiffany membuka kaca helm. Kali ini dia tak lagi kelilipan debu jalanan. Ada kebun binatang Bandung di sebelah kiri lalu motor semakin melaju di tengah sorakan dedaunan yang tertiup angin pagi.

Mereka tiba di depan gerbang yang masih terbuka. "Pagi, Pak!" sapa Dylano tepat pukul 06.30 pagi. Pak Satpam sampai mengusap matanya.

"Itu beneran Dylano?" tanyanya.

"Mana?" Satpam satunya melirik ke arah yang ditunjuk. Terlihat motor biru Dylano dari belakang.

"Beneran dia? Astaga ini bukan pertanda apa-apa, 'kan?" tanya Satpam pertama dengan wajah ketakutan.

Sedang satpam kedua memegangi perutnya yang mendadak tegang melihat Dylano datang pagi. Turun dari motor Dylano, Tiffany hendak masuk ke dalam gedung. Dylano menarik tangan gadis itu.

"Sini," ucap Dylano. Ia tarik pelan agar tubuh Tiffany menghadap kepadanya. "Helmnya buka dulu, ya?" Dylano membuka tali pengikat helm, kemudian menarik beda itu pelan ke atas. Setelah terlepas, ia simpan di spion motor.

"Sekolah yang rajin. Cepat lulus, biar Ayah kamu izinin kita pacaran," ucap Dylano.

"Aamiin," balas Tiffany. Tak lama dia mematung, kaget karena ucapan itu langsung keluar dari mulutnya.

"Jangan Aamiinin deh, soalnya habis lulus, aku mau nikah sama kamu. Bukan cuman pacaran." Dylano usap rambut Tiffany.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
DylanoWhere stories live. Discover now