Chapter 21. Cinderella dan Pangeran

1.2K 506 107
                                    

"Ayam goreng ini rasanya bisa beda-beda, loh," ucap Dylano.

"Kok bisa? Apa karena yang masak beda orang?" Tiffany balas bertanya.

"Karena kalau makan sama kamu lebih manis dan gurih." Apa yang dikatakan Dylano membuat pipi Tiffany berseri.

Tak tahu sejak kapan, waktu bersama menjadi berharga untuk keduanya. Bukan hanya disisi si pemaksa, tetapi yang dipaksa pun mulai menerima. Cinta yang rumit itu pun dibuat menjadi sesuatu yang sederhana untuk mereka. Cinta adalah awal di mana aku dan kamu ingin bersama.

Sore itu ketika matahari tertutup awan yang tengah mengucurkan air hujan. Kaca jendela sebuah restoran ayam goreng terlihat buram akibat embun. Jalanan sepi, hanya sesekali kendaraan lewat. Beberapa kali ada pemotor melintas mengenakan jas hujan yang berkibar-kibar diterpa angin. Motor-motor yang terparkir di luar basah dan tak satu pun pemiliknya terlihat keluar untuk mengambil.

"Jadi begini," tunjuk Tiffany pada operasi Matematika yang ia ajarkan pada Dylano. Intinya hari itu mereka bisa pergi dengan alasan les dan Dylano berjanji akan memberikan Tiffany gaji.

Dylano mengangguk-angguk sambil menggigit daging ayamnya. "Harusnya itu 'n' min 1 'b'," ralat Dylano.

Mata Tiffany berkedip. "Apanya?" tanya Tiffany.

"Rumusnya. Jumlah suku ke 'n' itu 'n' per dua dikali dua 'a' ditambah dalam kurung 'n' kurangi satu dikali 'b'," jawab Dylano dengan lancar.

"Kamu hafal rumusnya?" Tiffany membuka kembali buku catatannya, takut dia lupa. Ternyata memang benar, dia salah menuliskan tanda kurang dan tambah. "Kok kamu hafal dan bisa. Kenapa minta aku les kamu?"

"Memang aku minta kamu les matematika?"

"Terus maunya kamu les apa?"

"Les perasaanku gimana?" goda Dylano.

Tiffany memutar bola matanya. "Kamu mau nikahin aku, 'kan? Kalau mau, harus lulus SMA dulu. Kalau kamu enggak belajar, gimana bisa lulus SMA," tegas Tiffany tak mau kalah.

Dylano mengambil buku matematika dan pensil dari tangan Tiffany. "Aku harus kerjain yang mana?"

"Ini, barisan dan deret." Tiffany menunjuk buku materi yang Dylano ambil.

Pria itu lekas menuliskan isi dari setiap soal yang ada di sana. "Sudah." Tak butuh waktu lama, bahkan tanpa menghitung lewat catatan, Dylano bisa melakukannya.

"Jangan asal isi!" omel Tiffany sambil melipat tangan di dada.

Dylano menyentil kening pacarnya. "Kamu apa enggak lihat mulut aku komat-kamit buat ngitung? Kalau enggak percaya, periksa saja," tantang Dylano.

Tiffany lekas memeriksa. Untuk memastikan, dia tetap melihat rumus ke catatan takut keliru seperti tadi. Satu per satu soal Tiffany periksa. Dan dia mulai resah saat satu demi satu nomor dilewati dan jawaban Dylano benar. Hingga dia yakini memang benar semua.

"Kamu gimana bisa?" tanya Tiffany.

"Aku kalau gabut baca semua buku materi punya kakakku. Makanya aku males sekolah," jawab Dylano.

Mata Tiffany terbelalak. "Jadi kamu bisa ngerjain soal kelas satu sampai kelas tiga?"

"Bahkan materi kuliah dia pun aku bisa," ucap Dylano sombong.

"Kamu?"

"Iya akulah, masa tetangga!"

"Kenapa enggak ikut akselerasi?"

Dylano mengeluarkan suara desahan dari mulutnya. Dia menggeser kursi merah yang dia duduki sedikit lebih menempel ke kaca jendela yang menghadap ke parkiran. Terdengar suara riuh orang-orang yang mengobrol, bersatu padu dengan suara hujan yang semakin deras di luar sana.

"Kamu mau tahu kayak apa keluargaku?" Wajah Dylano tak seperti biasanya. Tiffany ingat, dia pernah berbincang dengan Ben tentang sikap Dylano yang sebenarnya sangat dingin walau kadang bicaranya nyablak. Bahkan teman-temannya sendiri —selain karena sikap senang bagi-bagi rezeki— menganggap Dylano menakutkan. Tiffany belum melihat sisi itu, karena selama ini Dylano selalu bersikap hangat, humoris dan lucu di depannya. Namun, tatapan mata Dylano kali ini lain.

"Menurutku itu privasi kamu dan seharusnya enggak kamu ungkap ke orang lain. Dan soal prestasi itu bukan hanya untuk keluarga, tetapi juga orang tua. Aku ingin berprestasi agar orang tuaku bangga, aku bisa sekolah tanpa menyulitkan mereka dan memperbaiki taraf hidup keluarga kami," jelas Tiffany.

"Karena Ayah kamu bukan Papaku," jawab Dylano singkat.

"Tapi aku akan bangga kalau kamu jadi pria yang hebat. Kamu 'kan milikku," ucap Tiffany. Tak lama dia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan karena kaget. Belakangan dia selalu keceplosan sendiri.

Tangan Dylano meraih lengan Tiffany dan menurunkannya. "Terima kasih, karena selama ini enggak pernah ada yang mau memilikiku, bahkan orang tuaku. Andai saja dalam keluargaku ada ketulusan seperti yang kamu lakukan. Dalam keluargaku semua dihitung akan nilai saham dan penghasilan. Aku bilang gitu, kamu ngerti?"

Tiffany mengangguk.

"Kalau pun aku jadi orang hebat suatu hari nanti, bukan karena orang tuaku. Tapi kamu." Senyum Dylano melengkung, begitu hangat.

Tak tahu es apa dalam diri Dylano yang orang lain seperti Irma, Lorna dan teman Dylano coba tunjukan pada Tiffany. Yang Tiffany lihat selama ini, hanya pria yang seperti boneka beruang lucu, membuatnya tertawa, hangat dan menyenangkan.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
DylanoWhere stories live. Discover now