Chapter. 24 Penjaga Hati

1.3K 491 105
                                    

Lain dengan sekolah umum, SMA Berbudi memiliki kebebasan bagi siswa untuk memilih pelajaran, termasuk dalam bidang olahraga. Namanya juga sekolah elite, tetapi ada minimum nilai tertentu yang harus diraih siswa sehingga siswa di sini tak bisa memilih sedikit mata pelajaran.

Dari sekian pelajaran olahraga yang ada, Tiffany lebih terpaksa memilih basket. Terpaksa? Iya, setiap siswa wajib memilih satu jenis olahraga dari sepak bola hingga yang paling mewah, berkuda. Dari sekian banyak olahraga, Tiffany pikir basket paling mudah. Awalnya begitu ... sampai dia rasakan sekali betapa berat bola orange itu.

"Lempar Fany!" tegas pelatih basket perempuan yang mengajar jam itu. Namun, bukannya terlempar ke dalam keranjang, bola basket malah kembali jatuh ke arah Tiffany dan hampir menghantam kepalanya. Untung saja, Dylano saat itu tengah di lapangan. Dibanding belajar basket yang benar, pria itu malah asik memperhatikan pacarnya.

"Kalau lempar bola itu jangan didorong pakek telapak tangan," nasihat Dylano. Tiffany menggaruk kepala. Sedang Dylano mengambil bola yang tadi dia tepis. "Ini! Belokan telapak tangan kamu gini. Pas kamu lempar, luruskan tangan kamu kayak gini."

Pelatih wanita yang saat itu berada di pinggir lapangan kontan merasa terganggu. Dia melihat nama di bagian belakang baju basket Dylano. "Teddy! Kamu keluar dari lapangan! Siapa suruh kamu masuk ke sini!" usir pelatih itu.

Hendak protes, Tiffany langsung meraih lengan Dylano. "Pelatih bener, biar aku belajar dulu. Kamu juga, 'kan?" pintanya. Dylano mengangguk-angguk lalu berlari menuju lapangan basket pria.

"Lanjutkan, Tiffany!" titah pelatih. Bagian sisi rambut Tiffany yang dikucir basah. Gadis itu mencoba arahan Dylano. Nyatanya, teori tak seindah praktek. Tetap saja bola itu berbalik dan menimpa kepala Tiffany.

Terdengar siswi lain tertawa dan tak lama mereka berhenti akibat dari seberang sana Dylano sudah mengepalkan tinjunya.

"Kenapa kamu enggak bisa terus, sih?" tanya pelatih.

"Bolanya berat, Coach," alasan Tiffany.

"Kamu sudah enam bulan belajar dan masih belum bisa over head pass. Gimana ini? Mau pindah ke cabang lain?"

Tiffany menggaruk kepala. Dia juga berpikir begitu, tetapi olahraga lain butuh modal yang besar. Contoh saja renang, harus ada baju renang dan juga dia tak tahan dengan protes Dylano.

"Baju renang itu seksi. Kelihatan di sana sini. Enggak mau! Pokoknya aku enggak mau cowok lain keenakan liat kamu lagi seksi gitu!" omel Dylano saat dulu Tiffany mencoba mendaftar olahraga renang.

Selesai latihan, Tiffany keluar dari lapangan. Dylano mengikuti dari belakang. "Sudah selesai?" tanya Dylano.

"Kamu? Kok sudah keluar dari lapangan?"

"Besok aku mau ikut tanding sama sekolah lain. Mau ikut nonton?" ajak Dylano.

"Tanding? Kamu main basket?"

"Namanya cowok, aneh kalau enggak pinter olahraga, 'kan?"

"Iya, sih." Tiffany berjalan agak menjaga jarak. Namun, Dylano malah meraih tangannya. Jelas Tiffany kaget, pria itu mencoba mendekat dan Tiffany terus menggeser hingga tanpa sadar gadis itu hampir jatuh ke semak-semak. Untung saja Dylano menarik lengannya.

"Kamu kenapa, sih? Hati-hati."

"Habis kamu nempel terus," keluh Tiffany.

"Emang kenapa? Biasanya juga kita kayak lem tikus."

"Abis bau keringet badanku," keluh Tiffany. Dia agak tak percaya diri akibat berkeringat banyak. Badannya bahkan lengket dan basah. "Aku ke kamar mandi dulu!" teriak Tiffany lalu berlari menuju kamar mandi wanita.

"Dia itu!" Dylano berbelok menuju kamar mandi pria dan membersihkan diri.

Besok harinya Teddy jadi bingung sendiri. Dia mendapat surat peringatan untuk tidak main basket selama dua minggu karena masuk lapangan perempuan.

"Asli! Aku belum pernah masuk lapangan cewek. Kok bisa, sih?" pikir Teddy. Sebenarnya hari itu bukan jadwal Dylano latihan, tapi Teddy. Hanya saja Teddy yang jempol kakinya sakit akibat tersandung batu paving blok jalan harus izin karena ke dokter. Jadilah Dylano menggantikan. Syukur pelatih pria tak keberatan. Hanya saja pelatih wanita yang tak tahu anggota tim pria salah sangka akibat nama di punggung seragam.

"Makanya kalau tidur jangan sambil jalan!" tegasnya penyebab dari masalah itu malah ikut meledek.

"Mana pernah gue sleep walking ke lapangan basket cewek!" Teddy masih yakin dengan ingatannya.

"Mana lu tahu, lu 'kan molor!" Bisa saja Dylano membalikan keadaan.

"Iya kali, ya?" Dengan nada lemas Teddy harus menerima hukumannya. Padahal dia sudah semangat main basket agar bisa ikut bertanding.

"Lagian, jempol kamu tuh belum sembuh. Masih bengkak kayaknya. Kalau dipaksa terus keinjek, wah!" komentar Ben.

"Jempol lu berubah jadi bayi gajah!" timpal Dylano yang langsung memacing tawa teman-teman satu kelasnya.

Karena Dylano harus bertanding, jadilah Tiffany pergi ke sekolah sendiri. Gadis itu berjalan dari ujung jalan kompleks sekolah menuju gerbang.

"Itu cewek yang pernah gue bilang! Sudah lama gue enggak liat!" tunjuk pria dari sekolah Raihan yang nongkrong tak jauh dari gerbang SMA Berbudi.

"Cantik gila!" timpal salah satu temannya.

"Mana?" Salah satu siswa dengan wajah Sunda ke barat-baratan turun dari motornya. Dia berjalan ke arah teman-teman satu geng yang kini tengah mengintip di balik pohon rambutan.

"Tuh, Dan! Cantik, 'kan? Cuman sombong!"

Daniel Hanif namanya, putra seorang pejabat terkenal di Kota itu. "Sombong? Itu mah karena kalian jelek! Kita liat, kalau digodain Daniel bisa jual mahal, enggak? Cewek lemah sama orang ganteng, Bos!" timpal Daniel.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
DylanoWhere stories live. Discover now