Chapter 43. Pengorbanan

749 335 55
                                    

"Tiffany, kamu belum ambil buku kamu?" tanya guru salah satu mata pelajaran. Tiffany menengok ke sisi kanan dan kiri. Ada beberapa siswa yang melirik tajam ke arahnya.

"Nanti pulangnya, Bu. Soalnya tadi enggak sempat," dusta Tiffany.

Tak tahu berapa kali lagi dia harus menghindar membeli buku referensi yang sudah disediakan sekolah. Buku itu tak ada didaftar biaya yang ditanggung beasiswa.

"Kamu kenapa?" tanya Dylano melihat Tiffany merenung selama perjalanan. Bahkan beberapa kali Dylano tanya, dia hanya menggelengkan kepala.

"Enggak ada. Aku baik-baik saja. Kamu hati-hati di jalan. Maaf enggak bisa bantuin ngajar, aku harus bantu Ayah," ucap Tiffany menepuk lengan pacarnya lalu berlari meninggalkan tempat.

Bahkan duduk di depan gerobak gorengan pun Tiffany hanya bisa melamun. Dia tak berani bilang pada ayahnya tentang tagihan buku. Dia tahu penjualam gorengan bulan ini menurun akibat sedang hujan. Biasa jalanan sepi dan pembeli tak sempat turun karena tak ingin hujan-hujanan.

"Neng Fany! Beli gorengan sepuluh ribu. Nanti tiap zuhur anterin ke toko roti dekat perempatan, ya?" Seorang ibu datang memesan gorengan.

"Boleh, bu," jawab Tiffany.

"Nanti ibu bayar sepuluh ribu lagi buat ongkos," tambah Ibu itu.

Tiffany merasa senang. Mungkin dia bisa menabung sedikit demi sedikit untuk membeli buku dari upah yang dia dapat mengantar gorengan buatanya ayahnya.

Saat mengantar gorengan ke salah satu toko baju, pemilin toko itu kebetulan punya anak yang masih SD. "Tuh, anaknya Pak Jatmika. Pinter dia. Sekolahnya saja beasiswa. Minta ajarin saja," saran pemilik toko pada istrinya.

Toko itu ada di belokan jalan Cicadas dengan Kiaracondong. "Neng Fany, Si Faqih ini belajar matematika enggak bisa terus. Sudah dilesin ke mana-mana. Siapa tahu Neng Fany bisa bantu Ibu. Nanti biar Ibu yang bayar setiap minggu. Mau?" tawar istri pemilik toko.

"Beneran, Bu?" tanya Tiffany.

Ibu itu mengangguk. "Iya, kalau ada kemajuan, nanti Ibu naikin bayarannya. Lumayan buat jajan mah ada, Neng."

"Iya, nanti Fany izin dulu sama Ayah. Soalnya Fany bantu-bantu Ayah jualan."

Tiffany agak lebih tenang pergi ke sekolah. Dia berencana bisa membeli buku itu bulan depan dari hasil les dan mengantar gorengan. "Mau makan bareng?" tanya Dylano begitu mereka di parkiran hendak pulang.

Tiffany menggeleng. "Fany harus bantu Ayah. Maaf, ya? Tahu sendiri gimana Fany sekarang. Ayah lagi sibuk-sibuknya. Bunda juga bantu-bantu di rumah Kak Ema. Kalau bukan Fany, mau siapa lagi," tolak Fany.

"Sampai hari Minggu saja kamu libur. Kapan kita pacarannya, Sayang?" Dylano merengek manja.

"Dylan, kamu tahu sendiri gimana keluarga aku. Katanya kamu mau maklumin. Kenapa sekarang protes?" Tangan Tiffany melipat di depan dada.

"Iya maaf. Tapi jangan terlalu sering kerja. Kamu juga harus istirahat. Nanti kamu sakit," pesan Dylano sambil mengusap rambut Tiffany. Gadis di depannya mengangguk.

Sore itu selesai les, Tiffany pulang ke gerobak. "Ayah pasti sibuk banget, ya?" tanya Tiffany melihat ayahnya sedang menggoreng singkong yang sudah direbus.

"Tadi Bu Teni ke sini. Dia minta dianterin singkong goreng. Habis ini mateng, kamu anterin ke sana, ya? Pakai sepeda Kakak kamu!"

"Siap, Yah!" jawab Tiffany.

Setelah singkong selesai digoreng, Tiffany memasukkan dalam bungkus kertas. Dia pergi ke rumah untuk membawa sepeda milik kakaknya. Namun, benda itu tak ada di rumah. Tiffany panggil Davis, tak ada juga jawaban.

"Pasti dia ke kampus, deh! Tadi katanya enggak akan ngampus," keluh Tiffany.

Gadis itu kembali ke depan gang. Dengan wajah manyun, dia ambil keresek dan memasukan bungkus kertas gorengan ke dalamnya.

"Kenapa?" tanya Ayah.

"Sepedanya enggak ada. Emang Kak Davis enggak bilang sama Ayah?"

"Lha, tadi bilang enggak akan ke kampus," ucap Jatmika bingung.

"Enggak apa-apa! Biar Tiffany sendiri saja. Bisa kok jalan kaki, deket ini. Di toko plastik habis mal, 'kan?" tanya Tiffany yang dibalas anggukan ayahnya.

Gadis itu berjalan kaki. Dia menyeberang dengan hati-hati. Tiffany sudah terbiasa berjalan jauh. Kadang kakinya sering lecet. Karena itu untuk mengantar gorengan, gadis itu lebih memilih memakai sandal jepit.

Tiba di toko plastik, dia berikan gorengan pada pemilik toko. "Neng, Ibu lagi ada di toko HP dalam mall. Tadi nyuruh ke sana. Anterin, ya?" pinta salah satu pegawainya.

"Yang mana, Teh?" Tiffany belum pernah masuk ke dalam mal baru itu.

"Yang deket restoran ayam goreng. Pasti kelihatan kok dari depan toko. Masuk saja," saran pegawai.

Terpaksa gadi itu berbalik arah. Dia masuk ke dalam lingkungan mal. Lewat jalan utama, Tiffany berjalan ke arah salah satu restoran ayam. Memang toko itu yang paling mencolok. Benar saja, di sana ada Bu Teni menunggu.

"Bu, gorengannya." Tiffany berikan keresek gorengan.

"Ini buat kamu jajan. Uang gorengan sudah dibayar ke ayah kamu. Tanyain saja, ya?"

"Makasih, Bu." Tiffany lekas pamitan. Dia sempat melirik ke arah toko. Mendadak perutnya berbunyi. "Nanti kalau aku punya uang banyak mau beliin ini buat Ayah dan Bunda, ah!" batinnya.

Namun, tak lama dia terkejut melihat seorang pria tengah membereskan piring kotor di atas meja. Tiffany kenal dengan baik pria itu. "Dylan, ngapain di sini?"

Sayangnya Dylano tak sadar Tiffany memperhatikannya. Dia tetap membereskan piring-piring itu dan membawanya ke dapur.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
DylanoWhere stories live. Discover now