Chapter 32. Konsekuensi

1.1K 447 63
                                    

"Kamu tahu aku ini siapa?" tegur Dylano. Matanya tajam menghujam seperti ujung katana.

Pria itu tak berani berkata. Tubuhnya gemetar hingga mengeluarkan keringat dingin. Kulitnya pucat pasi. Bahkan kini matanya berkaca-kaca. "Enggak ada satu pun! Satu pun yang berani menyentuh apa yang Dylano miliki! Apalagi itu kekasihku!" Dylano menarik kerah kemeja pria itu dan mendorongnya hingga jatuh ke jalan.

"Maaf, Dylano. Aku cuman ...."

"Cuman apa? Seisi sekolah tahu kalau Tiffany Anggraeni Putri adalah milikku! Milikku!" Kaki Dylano menendang pria itu hingga terseret tubuhnya. Pria itu mengaduh dan memegangi kaki yang terasa sakit. "Bangun! Kamu berani ganggu milikku, artinya sudah siap lawan aku! Bangun!"

Teman Dylano sudah siap memukuli. Mereka angkat tubuh pria itu agar berdiri. "Biarin dia! Kita lihat, apa dia berani lawan Dylano satu lawan satu?"

Namun, sasaran langsung berlutut dan memegang kaki Dylano. "Aku minta maaf. Aku janji enggak akan ulangin lagi, Dylano. Aku minta maaf," ucap pria itu sambil menangis tersedu-sedu.

Dylano menarik kerah kemeja sasarannya. "Dasar lemah? Kayak gini kamu bilang mau sama Tiffany? Lindungin diri sendiri saja enggak bisa. Apalagi lindungin Tiffany. Ngaca!" Dylano kembali mendorong pria itu hingga jatuh terjungkal. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dylano lekas mengambil ponsel. Dia kaget mendapat panggilan dari nomor tak dikenal.

"Ini siapa?" tanya Dylano dengan ketusnya.

"Dylan, ini Fany. Aku pakai HP Kak Davis. Kamu lagi di mana?" tanya Tiffany. Jelas Dylano terbelalak.

"Dylano, aku minta maaf," ucap pria itu lagi. Dylano memberi isyarat agar teman-temannya menutup mulut pria tadi.

"Kamu kok nelpon pakek HP kakak kamu? Emang HP kamu ke mana?" tanya Dylano. Sudah mengucur keringat dari keningnya.

Tiffany terdengar tertawa kecil. "Aku enggak ada pulsa. Tadinya enggak mau nelpon. Tapi enggak tahu kenapa perasaan aku enggak enak. Kamu di mana, sih?" Lagi Tiffany menanyakan hal yang sama.

"Aku lagi nongkrong sama teman-teman," jawab Dylano.

"Jam segini? Ini sudah malam, loh!" omel Tiffany.

"Baru juga jam delapan, Beb."

"Baru? Anak baik jam delapan sudah waktunya tidur. Ingat, tidur delapan jam sehari. Biar Subuhnya bagun tepat waktu, enggak ketinggalan salat Subuh. Terus, sudah salat Isya belum?" tegur Tiffany lagi. Dylano menggaruk bagian belakang kepalanya. "Belum?"

"Mau, ini mau cari masjid, kok."

"Ya sudah, cepat salat terus pulang dan tidur, ya? Nongkrong boleh, tapi ingat waktu dan kamu juga harus jaga kesehatan dengan tidur yang cukup, ya?"

"Siap, Beb!"

Tiffany menutup telponnya. Dylano mengusap dada. "Woy! Lepasin dia! Aku mau salat dulu! Mau ikut enggak?" ajak Dylano.

"Tapi, Bos. Nanggung ini tinggal mukul, doang," keluh Bentor.

"Sudah, mukulin dia juga enggak mendadak kita jadi milyarder. Mendingan kita cari masjid." Dylano lekas berjalan menuju mobilnya. Tak lama pria itu berbalik. "Dan kamu! Siapa tadi nama kamu?"

"Dave," jawab pria itu.

"Ouh iya, Dave! Untung tadi Tiffany nelpon, kalau enggak ilang kamu selamanya dari dunia!" ancam Dylano. Dia buka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.

Hari itu Dylano dan grup basketnya bertanding dengan sekolah lain. Atas permintaannya, Tiffany ikut menonton dengan Irma dan Lorna tentu. Tiffany menonton dari barisan bawah karena Dylano beralasan agar bisa mengawasi pacarnya itu dari lapangan. Tiffany yang tanpa Dylano tentu menjadi sasaran empuk gadis-gadis yang menyukai pesona Dylano.

Sayangnya Dylano salah, meski ada di sana Tiffany tetap dalam bahaya. Ketika Tiffany berdiri untuk mengambil botol minum di bangku pemain— karena tanpa sengaja Tiffany masukan benda itu dalam tas Dylano— kakinya dihalangi sesuatu oleh Reva hingga Tiffany tersandung dan jatuh ke depan. Untung saja Dave melihat dan  menangkap tubuh gadis itu.

Dari semua wanita yang mengejar Dylano, Reva yang paling agresif memang. Dia tahu benar bagaimana melawan Dylano dengan mengancam akan mengadukan semuanya pada Papa Dylano.

Tiffany sangat berterima kasih atas pertolongan Dave, tetapi Dylano tidak. Apa yang ia miliki benar-benar tak boleh tersentuh orang lain. Ia marah, meninggalkan lapangan dan memukuli Dave. Banyak orang yang memisahkan mereka, tetapi Dylano dengan sabuk hitamnya sulit dihentikan.

“Dylan berhenti! Kalau enggak kamu sama saja nyakitin aku!” teriak Tiffany sambil berusaha menarik tangan Dylano yang mencekik Dave.

Barulah Dylano berhenti lalu memeluknya. Sambil menahan amarah, Tiffany arahkan Dylano keluar gedung lapangan basket. mereka berjalan ke parkiran dan di sana Tiffany tepis tangan Dylano.

“Kamu sadar? Jika tadi Dave enggak nolong aku, aku bakalan jatuh nimpa pembatas kaca.” Tiffany mengomelinya.

Sepertinya ia sadar jika ia salah, tetapi bukan Dylano namanya jika mengaku. “Ia bisa tinggal narik tangan kamu, enggak perlu meluk segala. Dia cari kesempatan dan mikir bisa rebut kamu.”

“Dia refleks melakukan itu. Harusnya kamu berterima kasih, bukannya ngehajar dia kayak gitu,” nasihat Tiffany.

Dylano menggeleng. Ia sangat angkuh, karena selama ini berkuasa. Ia tak akan mau tunduk apalagi ditambah rasa cemburu. “Bahkan ia lebih rendah dariku. Tidak aku usir dari sekolah saja, sudah untung.”

Tiffany kesal jika Dylano sudah membahas tentang level manusia seperti ini. “Aku juga lebih rendah dari kamu. Kalau begitu jangan dekat aku. Nanti kamu jadi rendah.” Tiffany berpaling dan berusaha pergi meninggalkannya.

Dylano menarik tangan Tiffany. “Hei, Tify. Kenapa ngomong gitu? Baiklah aku akan minta maaf, tapi jangan marah lagi.”

Tiffany berdecak dan memutar bagian hitam matanya. “Bahkan kamu enggak kelihatan tulus ngomongnya.”

“Lalu aku harus apa? Bersujud padanya lalu bilang, lain kali kalau pacarku jatuh kamu peluk saja dia lagi, daripada dia terluka.”

Fix, kali ini Dylano membuat Tiffany jengkel. Tiffany tepis tangannya lalu berlari. Ternyata Dylano mengejar. “Kamu ini kenapa sih, Dylan? Kamu mengejekku, tapi enggak mau biarin aku pergi. Kenapa kamu selalu buat aku kecewa? Kenapa kamu enggak pernah berubah dan terus bersikap egois kayak gini?” Tiffany menangis dan melihat air matanya barulah Dylano berpikir jernih.

“Maaf.” Akhirnya Dylano terdengar tulus. Sayangnya Tiffany sudah sangat kecewa.

“Apa aku harus nangis dulu baru kamu akan berubah? Baiklah, aku akan menangis setiap hari agar kamu jadi baik,” omelnya. Dylano menunduk.

Lama mereka berdiri sampai Dylano menarik Tiffany ke motornya. Dia mengantar Tiffany pulang. Selama di perjalanan mereka tak saling bicara.
Dylano tak menjelaskan apa pun. Mungkin dia sadar itu percuma karena mau dijelaskan serinci pun, kenyataannya dia tetap salah.

Namun, justru sikapnya itu sangat mengganggu Tiffany. Hatinya semakin sakit karena Dylano diam. Tiffany merasa itu adalah akhir hubungannya dengan Dylano. Tiffany pikir setelah hari itu, mereka tak akan bersama lagi dan Tiffany hanya menangis sambil menenggelamkan wajahnya di punggung Dylano.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


DylanoWhere stories live. Discover now