Chapter 40. Rindu dalam hari semu

937 351 35
                                    

Kosong, hampa
Mungkin ini dunia tanpa udara
Seperti tiada kamu
Sesak, dingin dan mati
Begitu mungkin daun yang terlepas dari ranting
Batang yang terpisah dari akar
Buah tanpa biji di dalamnya
Kepergianmu

Tiffany tutup buku puisi milik Dylano. Gadis itu melihat ke luar jendela kelas. Beberapa kali dia menghela. Nyeri tanpa bisa dia jelaskan seperti apa. Ketika bel berbunyi, yang dia cari keberadaan kekasihnya. Namun, tiada Dylano di kursi dan meja tempat pria itu kini benar menuntut ilmu.

"Kepergianmu. Kapan pulangnya?" tanya Tiffany dalam hati.

Seseorang menyentuh bahu gadis itu. Tiffany berbalik. "Kamu nyari, Dylan? Nanti juga balik. Orang sana kalau pemakaman emang lama. Apalagi pengusaha. Banyak yang melayat. Keluargaku juga belum pulang," ucap Lorna.

"Kamu enggak ikut ke sana?" tanya Tiffany.

Lorna menggeleng. "Katanya lebih baik mentingin sekolah. Lagian aku di sana juga enggak banyak bantu. Itu urusan orang dewasa," jelas Lorna.

"Tiffany! Pulang ayok!" ajak Ben yang baru keluar dari kelas. Pria itu melirik Lorna. "Ngapain kamu di sini?" tanya pria itu sewot.

"Terserah gue lah bebas!" Lorna balas membentak.

"Tiffany ke sini supaya aku antar pulang. Lha, kamu siapa? Mau nebeng juga?" tegur Ben keterlaluan.

Lorna langsung menggetok kepala pria itu. "Heh! Otak tuh pake! Nebeng kamu? Kayak di dunia ini enggak ada taksi saja! Lagian ogah, alergi!"

"Sok lo! Jangan sombong sama orang ganteng apalagi mukanya pas-pasan," ledek Ben.

Lorna kembali memukul lengan pria itu. "Ganteng dari mana? Diliat dari talang aer? Muka kamu itu kalau diobral sama dukuh juga lebih murah muka kamu!" Lorna mengejek penuh dengan emosi.

Biasanya kalau Lorna dan Ben bertengkar, Tiffany akan tertawa. Namun, tawanya hilang setelah Dylano tak ada.

Dulu aku ingin pergi darimu
Aku ingin tepis bayangan kamu
Aku merasa bodoh dengan mencintaimu
Sekarang?
Aku orang bodoh jika kehilanganmu

Tiffany pulang dibonceng Ben. Pergi dibonceng Tedy. Dia tak bisa lagi memeluk pria yang dia sayangi. Tak tahu sampai kapan. Bandung hari ini dingin dan lebih dingin karena dia tidak ada. "Apakah hanya aku yang rindu Dylano?" batin Tiffany.

New York, USA

Dia menyebunyikan kesedihannya sendiri. Kadang dia bersyukur, terima kasih karena telah berubah hingga membuat seorang kakek yang seperti ayah bangga sebelum kepergian. Air matanya menetes dan dia hanya bisa memeluk lututnya sendiri.

"Dylan, kamu harus baik sama Papa dba Mama. Mumpung mereka ada. Kalau mereka enggak ada, sakit rasanya. Baik atau buruk mereka tetap orang tua kamu. Tak percaya? Coba saja kehilangan kakek dulu." Andai kalau Dylano tahu itu ucapan terakhir kakeknya, dia ingin meminta maaf pada kedua orang tua di depan Harvey, kakeknya.

Sesekali Dylano usap air matanya. Dia menarik napas untuk sekadar menghempas duka. Sayang, rasa itu tak bisa berkurang begitu saja.

"Tuan Muda, Tuan Besar memanggil anda. Beliau ingin anda menyapa tamu hari ini," panggil seorang pelayan.

Dylano bangkit. Dia masih menunduk dan berjalan menuju rumah besar keluarga Khani. Banyak orang yang datang untuk melayat, mereka berpakaian serba hitam. Sebagian terlihat ikut sedih, sebagian malah masih tertawa saling berbagi cerita.

"Itu, Putra Keduaku!" tunjuk Abraham. Dia tersenyum melihat Dylano datang. "Ini Dylano. Putra keduaku yang kemarin menang olimpiade Matematika. Sekarang aku sedang mengajukan tes ke Harvard," ucap Abraham bangga.

Ini pertama kalinya Dylano dikenalkan pada orang-orang. Setelah bertahun-tahun disembunyikan akibat dianggap aib. Namun, dia sekarang setara dengan kakak dan adiknya.

"Wah, putramu pintar sekali. Aku dengar bahkan dia jadi relawan tenaga pengajar?" tanya salah satu rekan bisnis Abraham.

"Iya, dia tabung uang jajannya untuk membuat sekolah non formal bagi anak kurang mampu. Dia sekarang jadi sorotan banyak media." Shanon turut membanggakan putranya.

Dylano tersenyum. Dia tatap ibu dan ayahnya. "Jadi gini rasanya disayang Papa dan Mama?" batin anak itu.

"Dylano, ini Tuan dan Nyonya Arifin. Mereka yang akan bekerjasama dengan kita di bidang fashion. Kamu tahu, perusahaan mereka sekarang sudah mengusai Asia." Abraham menepuk bahu Dylano.

"Anda terlalu berlebihan Tuan Khani. Tentu perusahaanku bukan apa pun dibandingkan perusahaanku," kilah Tuan Arifin.

Di samping pria itu ada seorang gadis yang tengan menunduk malu. "Siapa ini? Cantik sekali," puji Shanon.

"Selamat sore, Tante. Saya Tiara Arifin." Gadis itu memperkenalkan diri.

"Putriku satu-satunya," tegas Tuan Arifin.

"Cantik sekali. Aku jadi ingin punya anak perempuan."

"Bukankah sebentar lagi Dareno akan menikah? Anggap saja anda juga aka memiliki anak perempuan," timpal Nyonya Arifin.

"Dylano, sapa putri Tuan Arifin," pinta Abraham.

Dylano mengangguk. "Hai, aku Dylano. Salam kenal," ucap Dylano.

Tiara mengulurkan tangan. "Tiara. Salam kenal juga.".

Akibat merasa tak sopan, Dylano balas uluran tangan gadis itu dan melepaskannya. Seorang staf menghampiri dan membisikan sesuatu ke telinga Abraham.

"Baik," jawab Abraham. Tak lama pria itu mengusap kepala Dylano. "Dylan, kamu siap-siap. Lusa kamu pulang ke Indonesia. Konsultan akan membicarakan masalah sekolahmu."

"Baik, Pa. Aku undur diri." Dylano menunduk dan melangkah pergi. Tiara masih memperhatikan pria itu.

"Aku yakin dia akan diterima di Harvard. Putriku berencana kuliah di Manchester," ucap Nyonya Arifin.

"Tidak. Aku juga akan coba. Di Harvard," kilah Tiara.

Baik Tuan dan Nyonya Arifin saling tatap. "Kenapa mendadak sekali?"

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
DylanoWhere stories live. Discover now