Chapter 27. Males judulin

1K 470 68
                                    

"Hei, itu .... Fany ...," panggil Daniel saat Ema tengah pergi untuk membayar makanan mereka.

"Kamu apa enggak malu? Kak Ema sayang banget sama kamu!" omel Tiffany.

Daniel terlihat cemas. "Dengar dulu. Waktu itu aku enggak maksud godain kamu. Gimana ,ya? Aku cuman taruhan saja sama teman aku. Lagian kamu bukan tipeku!"

"Kamu sudah salah, ngeledek lagi! Emang kamu pikir, kamu itu tipeku?" Tiffany balas mengatai.

"Terserah! Pokoknya aku mohon jangan bilang sama Ema. Dia bisa sakit hati!"

"Makanya, kamu jaga hatinya baik-baik! Bukannya malah godain cewek lain. Mana ceweknya punya cowok lain!"

Terlihat Ema kembali. Kedua manusia itu langsung diam seribu bahasa. "Kalian ngobrol apaan tadi? Kayak asik banget?" tanya Ema penasaran.

Baik Tiffany dan Daniel sama-sama  nyengir kuda. "Aku cuman nanya saja gimana rasanya sekolah di Berbudi," dusta Daniel.

"Ya, sama saja sekolah. Cuman SMA mereka punya kolam renang, 'kan?" timpal Ema yang disusul anggukan Tiffany.

Tiffany pulang diantar Ema hingga ke depan gang rumahnya. Begitu turun, Tiffany berikan helm milik Ema. "Hmm, Tif. Aku mau tanya boleh?" tanya Ema.

"Tanya apa, Kak?"

"Itu, ada mungkin dua mingguan, Daniel itu dipukulin orang. Dia ngakunya sih jatuh dari motor. Aku tegur teman-temannya, terus mereka bilang katanya dipukuli siswa di SMA kamu," ungkap Ema.

Di sana Tiffany langsung keringatan. Dia takut kalau sampai Ema tahu. "Iya, kah?" tanya Tiffany pura-pura tak tahu.

"Aku juga enggak tahu masalahnya apa. Soalnya kata teman-temannya mereka waktu itu tahunya pas sudah berantem."

"Wah, bahaya, dong."

"Siapa tuh nama orangnya. Dylano! Nah, aku 'kan tanya tuh sama orang-orang. Banyak yang tahu Si Dylano ini. Katanya anaknya emang nakal banget. Kelakuannya kayak preman pasar. Aku yakin sih, pasti dia duluan bikin masalah sama Daniel," komentar Ema.

"Kata siapa? Kakak kalau belum tahu masalahnya jangan langsung menghakimi!" timpal Tiffany dengan nada kesal.

"Kamu marah?" tanya Ema.

Seketika Tiffany langsung menggelengkan kepala. "Aku cuman ngasih masukan saja. Namanya orang walau nakal belum tentu dia selalu salah, 'kan? Dan orang baik belum tentu enggak pernah salah."

Ema mengangguk. "Benar juga kata kamu. Aku harus cari tahu sendiri. Takutnya Si Dylano itu bakalan terus nandain Daniel. Apalagi aku dengar dia punya geng gitu."

"Enggak lagi, kok." Lagi, Tiffany kaget sendiri dengan ucapannya.

"Kok kamu tahu?"

"Maksudku, buktinya sampai tadi Daniel pergi masih baik-baik saja, 'kan? Kalau iya, mungkin tadi dia sudah celaka."

Ema lagi-lagi setuju dengan pendapat Tiffany. Tak lama Ema langsung pamitan pergi. Tiffany mengusap dada. "Dylano! Kamu kenapa sih suka bikin aku jantungan!" keluh Tiffany.

Pagi harinya seperti biasa Tiffany berjalan ke arah Kiaracondong. Apalagi? Dia menunggu Dylano di sana. Pria itu agak terlambat. Biasanya Dylano sampai duluan. Kali ini Tiffany harus menunggu sebentar sampai motor Dylano menepi.

"Maaf lama," ucap Dylano.

"Aku juga baru dateng, kok. Tadi telat mandinya. Soalnya Kak Davis mandi lama banget." Tiffany naik ke atas motor Dylano sambil berpegangan ke bahu pacarnya.

"Helmnya belum dipakek, nih." Helm warna merah muda langsung Dylani berikan. Tiffany ambil lalu dia kenakan.

"Kamu tahu enggak, pacarnya cowok yang kamu pukulin beberapa minggu lalu?" tanya Tiffany.

Karena itu Dylano sampai menahan menekan gas motornya. "Kenapa?"

"Dia itu anak majikan Bunda. Aku takut kalau dia marah terus Bunda dipecat."

"Mau aku pukulin lagi cowoknya biar tutup mulut?"

Tiffany pukul bahu Dylano. "Bukan gitu! Cowoknya sih enggak bilang. Cuman ceweknya penasaran sampai nyari tahu. Mana dia tahu kamu pelakunya."

"Ya terus? Kalau dia enggak godain kamu, aku juga enggak akan kayak gitu. Biar saja dia tahu kelakuan pacarnya. Lagian siapa tuh cewek? Perlu aku ancam juga dia?"

"Tahu, ah! Kamu tuh kalau diajak ngomong emosian mulu bawaannya."

"Terus harus gimana? Sudah kejadian, mana mungkin dibalikin, 'kan?"

Tiffany merengut. "Kita berangkat saja, sudah kesiangan."

"Aku malah mau kesiangan. Biar dihukum bareng-bareng." Dylano sentuh tangan Tiffany yang berpegangan ke pinggangnya.

"Yakin kalau kesiangan aku doang yang dihukum. Kamu mana mungkin."

"Oke, kita berangkat." Motor Dylano berjalan di atas aspal Kota Bandung. Masih terasa dingin menusuk kulit meski Tiffany memakai jaketnya.

Jalan macet di beberapa titik. Orang-orang tengah berebut waktu untuk bekerja dan ke sekolah. Tiffany sandarkan wajah di punggung Dylano. Terasa hangat saat memeluk pria itu.

"Selamat pagi, Bandung," ucap Tiffany.

"Aku enggak diucapin?" protes Dylano sambil membuka kaca helm.

"Selamat tobat, Dylano!" canda Tiffany.

"Selamat mencintaku, Tiffany!" balas Dylano membuat Tiffany tertawa. Begitu melewati jalan yang di sisi kanan dan kirinya pepohonan, daun-daun yang gugur jatuh menyentuh bahu Tiffany. Cahaya mentari mengintip di balik ranting dan daun.

"Kamu mau beli cilok, enggak?" tawar Dylano.

"Enggak. Aku mau kamu saja!" jawab Tiffany.

"Percaya, deh. Aku enggak ada tetelannya. Bukan dari kanji lagi," celetuk Dylano membuat mereka tertawa.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
DylanoWhere stories live. Discover now