Chapter 11. Otaknya Beda Merk

1.3K 529 126
                                    

"Maksud Tuan gimana?" tanya Tiffany.

"Iya itu, pelajaran cintanya itu ada pacaran-pacarannya juga, 'kan?" terka Dylano.

"Enggak ada. Cuman teori supaya kita enggak banyak galau soal cinta. Enggak terjerumus dalam toxic relationship."

"Kalau gitu sih, enggak usah diajarin. Yang penting itu niat. Kalau kagak niat ya mana teori setoren sekalipun, prakteknya paling setetes." Dylano melirik ke roda gorengan. Ia tersenyum melihat cireng ada di sana. "Beb, mau itu, donk. Lima rebu," pintanya. Saat itu harga gorengan masih lima ratus satu. Jadi otomatis Dylano dapat sepuluh buah.

"Itu habis sendiri?" tanya Tiffany melihat Dylano makan cireng satu per satu. Dylano mengangguk. Cireng itu disimpan dalam piring agar lebih mudah. "Emang enggak kekenyangan?" tanya Tiffany.

"Enggak. Aku belum makan lagi. Terakhir sarapan. Siang makan eskrim," jawabnya.

"Kenapa? Kan bisa pulang ke rumah buat makan?"

"Males. Paling pulang diomelin lagi sama Kakek. Apalagi kalau Papa telpon, semua bahasa enggak enak dia keluarin. Anak enggak guna, bikin malu keluarga. Enggak bosennya dia!"

"Kalau Tuan jadi anak baik. Pasti mereka juga enggak akan bilang gitu. Pasti yang diulang itu pujiannya."

"Dan mereka bakalan seenaknya gitu? Kamu enggak tahu sih gimana sakitnya mental adik sama Kakakku. Harus A terus B terus C. Semua diatur sampai makan saja diatur. Enak gini, bisa makan cireng. Main keluar malem-malem. Temanan sama siapa saja. Pacaran sama kamu!" Telunjuk Dylano menyentuh pipi Tiffany dengan gemas.

Senyum Tiffany melengkung. "Ternyata dia enggak seserem yang orang bilang," pikir Tiffany.

Dylano menatap keluar. Ia lihat jam di tangan. Sudah pukul tujuh. "Kamu biasa jualan sendiri gini?" tanya Dylano.

"Kalau maghrib Ayah pasti ke masjid sampai Isya. Bunda tadi pulang dulu, soalnya adikku masih kecil. Kalau adikku tidur baru ke sini. Aku ke sini abis salat maghrib terus gantiin Bunda," jawab Tiffany.

Tak terasa sisa dua cireng di piring. Martabak malah belum disentuh sama sekali. "Kok mau? Anak seusia kita 'kan maunya main. Enggak capek?"

"Capek. Lelah. Bosen. Tapi main juga sama siapa? Aku enggak ada temen. Mereka main pergi jauh-jauh, aku enggak ada uang. Kalau mereka jajan, masa aku cuman liatin. Ya sudah, di sini saja. Bersakit-sakit dulu. Kalau nanti besar sukses, aku mau jalan-jalan keliling dunia."

Dylano bangkit. Ia ambil tissue toilet di atas meja gorengan dan mengelap tangannya. Tak tahu kenapa tissue toilet jadi ambassador sendiri di warung makanan Indonesia. Kini ia usap rambut Tiffany. "Kapan-kapan, luangin waktu buat kita jalan-jalan. Bodo amat kamu enggak punya temen. Yang penting punya pacar ganteng, 'kan?"

Tiffany mengangguk. "Aku mau balik dulu ke tongkrongan."

"Enggak salat Isya dulu. Bentar lagi azan."

"Enggak tahu bacaannya. Caranya juga. Mana pernah diajarin." Sekalinya diajari di sekolah, dia sering bolos.

"Belajar. Kita setiap hari jalan di buminya Allah. Masa enggak mau salat sama sekali."

"Iya, entar lihat di Youtube," jawab Dylano tak seperti biasanya. Andai kalau temannya yang bicara, dia pasti akan bilang, "Orangtuaku saja kagak salat. Kalau nanti ditanya, salahin saja mereka. Entar keenakan. Ngurus anak enggak, mereka masuk surga padahal aku yang salat." Masuk surga tak semudah itu, Bambang!

Dylano berbalik. Ia melambaikan tangan. Tiffany membalasnya sambil tersenyum. "Ini efek malam, apa emang kamu selalu secantik ini?"

"Makasih."

"Buat apa? Aku yang nikmatin kecantikan kamu, kenapa kamu yang bilang makasih?"

Pria itu mengambil helm di atas motor dan memakainya. Ia nyalakan mesin motor. Tiffany berdiri di samping gerobak gorengan. "Hati-hati di jalan, Tuan. Jangan ngebut, bahaya!"

"Demi kamu aku rela pelan-pelan, loh. Kalau mati nanti aku enggak bisa sama kamu lagi," timpal Dylano.

Akhirnya pria itu pergi dan tak seperti biasa, ia tidak memutar gas seenaknya. Senyumnya terkembang. "Dinasehatin dia kok adem, ya? Apa dia mengandung akua?" pikir Dylano.

Tiffany kembali duduk dan membaca bukunya. Sesekali ia tersenyum sendiri. Matanya menatap martabak yang masih ada dalam keresek. Ia buka keresek itu dan mengeluarkan isinya. "Terakhir makan ini kapan, ya? Sudah lupa."

"Apa itu?" tanya seseorang yang baru datang dari masjid.

"Itu, Yah. Tadi temanku datang beliin ini," jawab Tiffany.

"Teman di mana?" Ayah tahu putrinya itu jarang bergaul.

"Teman satu sekolah di Berbudi. Tadi sekalian dia main lewat dan beli cireng." Ditatapnya masih tersisa cireng di atas piring.

Sampai di tongkrongan ia baru ingat akan sesuatu. "Ah, sial!" pekiknya.

"Kenapa?" tanya Deki.

"Malu-maluin gue. Niatnya mau ke sono ngapel, malah ngehutang," keluhnya.

"Ngehutang gimana?" tanya Ben yang sedang minum teh botol.

"Beli cireng lupa bayar. Balik lagi enggak enak. Malu. Bayarin gih, gue kasih ongkos jalan!" Dylano berikan uang lima puluh ribu pada Bentor. Anak itu mau saja.

"Di mana tempatnya?"

"Itu, tukang gorengan yang biasa kita tongkrongin."

"Yang anaknya cantik?" tanya Bentor polos. Dia memang sering tanpa sengaja bertemu Tiffany. Lain dengan Dylano.

Namun, jawaban Bentor malah memancing tatapan tajam. "Dia cewek gue! Awaslu kalau berani liat dia lama-lama! Belum nyoba saja gue aspal di tiang listrik."

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.
DylanoUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum