Chapter 38. Memaafkan

1K 380 35
                                    

Malam itu Dylano membawa beberapa bungkus makanan untuk teman-temannya. Dia menepikan motor di tempat biasa. Ada sebuah gang di antara toko-toko tempat biasa dia dan teman-teman nongkrong. Dylano masuk ke dalam gang. Hanya saja tak seperti biasa. Di sana sepi. Ada dua orang pria memakai jaket jeans dan satu lagi hanya kemeja hawai bermotif bunga.

"Mangsa, nih!" ucap salah satu dari mereka ketika berpapasan dengan Dylano. Mata mereka melihat pakaian yang dikenakan pria itu dan kunci motor di tangan.

Dylano mundur. Apalagi melihat di tangan kedua orang itu ada pisau. Mereka membuang dompet ke jalan. Sepertinya mereka baru memeras orang.

"Hei, bawa uang, enggak? Bagi-bagi," pinta kedua orang itu.

Dylano berusaha mengukur. Kalau dia kabur, dia tak akan sempat naik motor. Kalaupun motor ditinggal, dia akan dihabisi Papanya kali ini. "Butuh berapa?" tanya Dylano dengan nada tegas.

"Pinjem dompet," balas pria itu.

Dylano menggelengkan kepala. "Mendingan kalian mundur. Terakhir kali ada preman berantem sama aku, mereka mati," ancam Dylano.

"Songong nih anak!" tunjuk kedua preman itu sambil tertawa puas.

"Songong nih, Beban Negara!" ledek Dylano. Mendengar itu jelas membuat kedua pria tadi naik pitam. "Maju sini!" tantang Dylano.

"Nih anak, mau mampus kayaknya!" pria itu maju semakin depan. Mereka langsung melancarkan tinjuan ke arah Dylano. Tak habis akal, makanan ditangan Dylano pukulkan ke arah mereka lalu kaki turut menendang dengan perhitungan akurat. Keduanya tersungkur dalam satu tendangan menyamping.

"Sialan!" pekik mereka tak terima kalah oleh anak ingusan seusia Dylano. Mereka keluarkan pisau di tangan dan siap menyerang Dylano dengan benda itu. "Sini!" Pisau ditusukan ke arah Dylano.

Lekas lelaki itu mundur dan lari. Dia ambil helm untuk memukul mundur kedua pria tadi. Kini fokus Dylano adalah mengambil senjata di tangan ke dua pria tadi.

Terjadi pertarungan seru di sana. Meski beberapa kali berhasil memukur mundur, tetap saja semakin lama Dylano kewalahan sendiri. Tubuhnya penuh dengan keringat dan napasnya naik serta turun dengan cepat. "Sialan! Mereka enggak ada matinya," batin Dylano. Untung saja helm masih ada di tangan untuk perlindungan diri.

Salah satu pria berlari hendak melayangkan tendangan. Dylano bergeser ke samping. Pria kedua menyerang secara mendadak membuat Dylano kena tonjok di pipi dan jatuh ke trotoar.

Yang satu lagi menghunuskan pisau ke arah Dylano. Lekas Dylano berguling ke arah jalan dan bangkit. Banyak kendaraan lewat dan tak satu pun berhenti untuk menolong. Mungkin mereka pikir dia hanya berandal yang biasa bertengkar.

"Kalau gini terus aku bisa kena!" Dylano berlari saat itu juga dan langsung di kejar. Dia gunakan benda yang dia temui untuk dilempar pada pria tadi.

Akhirnya Dylano terpojok karena salah lari menuju halte bis yang dipagari. "Sialan!" pekik Dylano.

Salah satu pria kembali siap menghunuskan pisau, tetapi seseorang memukulnya dari belakang hingga terhuyung dan pingsan. Dylano memanfaatkan itu untuk menyelerang salah satunya lagi. Kini dia ada teman untuk melawan. Beberapa kali tendangan dari keduanya hingga pelaku jatuh terhuyung ke tanah.

"Panggil, Polisi!" tegas Orang itu.

"Mau ikut ditangkep?" tanya Dylano.

"Mereka preman. Bikin pingsa preman apalagi yang nyerang mana bisa dipenjara!"

Dylano ingat wajah pria itu. Daniel Hanif, yang punya pacar segalak anjing helder. Kini Dylano ambil ponsel dan menelpon polisi. Lumayan lama hingga mobil petugas keamanan itu datang dan meringkus kedua preman yang masih terhuyung akibat dipukuli.

Baik Dylano dan Daniel sama-sama dipanggil untuk memberi keterangan. Lelah, kini mereka duduk di teras polsek sambil memeluk lutut. "Kamu hebat, juga," puji Dylano.

"Kamulah! Gila saja lawan preman segede gitu sendirian. Nekat banget! Kalau aku milih lari," timpal Daniel.

"Masalahnya enggak ada pilihan lain. Ternyata malah kewalahan," timpal Dylano. Lumayan lama mereka terdiam. "Maaf soal waktu itu. Aku cuman enggak suka saja ada yang sentuh pacarku," jelas Dylano. Dia sudah semakin dewasa.

"Aku juga pasti marah kalau pacarku digodain cowok lain. Aku ngerti, kok. Lagian aku emang salah. Aku enggak tahu dia punya pacar."

"Terus kenapa kamu godain cewek lain? Kalau cewek kamu tahu, hidup kamu bisa end!"

"Cuman taruhan saja. Habis mereka bilang Tiffany itu suka jual mahal. Tapi aku minta maaf, deh. Aku salah. Harusnya cewek enggak dijadiin taruhan."

Mereka sama-sama tersenyum. "Makasih juga sudah batuin tadi."

"Halah, sudah kewajiban." Daniel berdiri. Saat itu dia lihat Ema turun dari motor bersama Tiffany. "Daniel!" panggil Ema.

"Dylan!" panggil Tiffany.

Kedua wanita itu memeluk pasar masing-masing. "Kamu enggak celaka, 'kan? Aku tuh khawatir. Kenapa sih kamu berantem terus?" omel Ema.

Tiffany memegang pipi Dylano. "Imi sakit, ya? Tapi mereka enggak bikin kamu berdarah? Ada yang parah?"

"Enggak. Keburu Daniel datang tadi. Aku juga sudah bilang makasih dan maaf sama dia," laporan Dylano.

Tiffany tersenyum. "Makasih," ucap Tiffany.

"Karena aku tahu kalau aku celaka, kamu pasti nangis. Aku enggak mau kamu nangis. Makanya aku bersyukur banget dia nolong aku. Jadi kamu masih bisa senyum."

Ema dan Daniel menatap keduanya. "Kok bisa sih dia ngomongnya manis gitu? Kok pacarku enggak," sindir Ema.

"Aku ini manusia, bukan kue brownies!" protes Daniel.

MAKASIH YANG SUDAH ORDER NOVEL SEPASANG SEPATU. MAKASIH ❤️❤️❤️

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
DylanoWhere stories live. Discover now