Chapter 30. Dua Pria

1.1K 460 68
                                    

"Baru dateng? Darimana?" tanya Lorna.

"Dylan ngajak makan di kantin. Memang kalian enggak ke sana? Aku enggak lihat kalian." Tiffany duduk di kursinya.

Baik Lorna dan Irma sama-sama menggeleng. "Kita lagi malas saja. Maunya tuh enggak makan dulu. Mau diet," jawab Lorna.

"Diet?" Tiffany menaikan sebelah alisnya. Dia tatap kedua temannya itu. "Badan kalian bagus, kok. Ngapain diet segala, sih? Nanti malah kena lambung, loh. Pokoknya jangan diet-diet. Makan saja kayak biasanya. Jangan dengerin omongan orang lain," saran Tiffany.

Irma menepuk lengan Tiffany. "Kita juga pengen punya pacar, Fan. Walau enggak seganteng Dylano, pokoknya punyalah."

"Ya ampun, kalau laki-laki itu sayang sama kalian, mereka enggak akan mandang fisik." Tiffany menatap satu per satu temannya itu.

"Itu sih kata kamu yang cantik, Fan. Kamu ke mana saja pasti biasa digodain. Kita yang apa adanya begini terbiasa dikatain," keluh Irma.

"Highkey!" timpal Lorna.

"Aku juga karena miskin tetap dikatai, kok. Enggak ada yang mau temenan sama aku. Jangan patah semangat gitu, dong. Kalian ini baik banget. Pasti akan ada laki-laki yang lihat kalian dari kecantikan hati. Lagian siapa jamin aku bakalan nikah duluan nanti. Gimana kalau ternyata kalian yang nikah duluan?" Senyum Tiffany terkembang.

"Mau protes sama kamu tuh susah. Kamu baiknya alami, Fan." Lorna terkekeh.

"Iya, kayak merk air mineral," timpal Irma.

Guru tak lama datang dan menghentikan obrolan mereka. Tiffany mengeluarkan buku dari tasnya. Seketika selembar kertas jatuh dari sana pun dengan sebuah cokelat. Tiffany ambil kertas itu. Ada tulisan di sana.

Semangat belajarnya. Aku harap kamu betah di sekolah ini. Salam dari jauh, Tiffany.

Seketika alis Tiffany terangkat sebelah. Dia tersenyum. "Apa sih, Dylan. Masih sempat masukin cokelat ke tas," batin Tiffany.

Dia kembalikan cokelat itu dan melipat kertas. Tak lama Tiffany terpaku akan sesuatu. Tulisan Dylano sangat rapi, beda dengan tulisan di kertas tadi. "Apa iya itu dari, Dylan?" pikirnya lagi.

Tiffany melihat ke sekitar. Seingatnya di loker dia tak melihat ada nama Tiffany selain dirinya. Satu per satu siswa di sana Tiffany tatap wajah mereka, mungkin saja ada satu yang mencurigakan. Tiffany takutnya ini jebakan.

Jarum pendek jam menyentuh angka tiga dan disusul seruan alarm tanda pelajaran hari ini berakhir. Tiffany berdiri dan merapikan tasnya.

"Tumben Dylano belum ke sini?" tanya Lorna menengok ke arah pintu.

"Dia nunggu di parkiran. Soalnya kemarin kakinya kejeduk anak tangga. Jempolnya nyeri, jadi enggak kuat bawa motor dan jalan lama," jelas Tiffany.

"Ngakak! Kena azab tuh dia," ledek Lorna.

Tiffany terkekeh. "Eh, lagian semua orang pada takut sama Dylano. Kok kalian dari awal berani ledek dia?" tanya Tiffany bingung.

Baik Lorna dan Irma terkekeh. "Gimana ya jelasinnya? Jadi gini. Si Dylan tuh punya nenek dari bapaknya. Nah Neneknya dia itu adek kakak sama nenekku."

"Jadi kalian masih saudara?" tanya Tiffany kaget.

"Iyalah. Semacam itu," jawab Lorna.

"Jadi sama Ben dan Teddy juga masih saudara?"

Kali ini pasangan sepupu itu menggelengkan kepala. "Ben sama Teddy masih sepupu sama Dylano. Cuman mereka dari keluarga Ibu. Lebih dekat mereka sih secara garis keturunan. Tapi kami dari keluarga Papanya."

"Wouh, sekeluarga kalian kaya semua, ya? Hebat," puji Tiffany.

"Tiffany! Dylano manggil, katanya nungguin!" panggil seseorang dari arah pintu. Tiffany lekas berlari keluar setelah pamitan dengan kedua temannya itu.

Terdengar suara tas Tiffany yang berayun-ayun di belakang punggung hinga benda di dalamnya saling berbenturan. Setelah menuruni tangga dan lewat lorong, akhirnya Tiffany tiba di parkiran. Dia lihat Dylano duduk di kap mobil berwarna hitam mengkilap.

"Dylano!" panggil Tiffany sambil melambaikan tangan.

"Tiffany!" balas Dylano. Keduanya saling senyum dan Tiffany kini berlari ke arah pacarnya. "Kenapa lama?" Tangan Dylano mengusap rambut gadis itu.

"Tadi aku ngobrol sama Lorna dan Irma dulu. Jadi kalian itu saudara dari pihak Papa?" tanya Tiffany.

"Bisa dibilang begitu. Kenapa memang?"

"Yang baik sama mereka. Kan mereka saudara." Telunjuk Tiffany bergerak-gerak di depan wajah Dylano.

"Siap, Nyona Dylano Khani!"

Kini Dylano berdiri dan membuka pintu mobilnya. Tiffany naik ke atas kendaraan itu. Gadis itu duduk di samping kursi pengemudi. Setelah mobil Dylano keluar dari parkiran, barulah Tiffany membuka obrolan.

"Ini mobil kamu?" tanya Tiffany.

"Bukan, dapet nyewa dua ribu sejam," jawab Dylano.

"Wah, bisa?" tanya Tiffany polos.

"Emang main dingdong? Mana ada, lah. Kalaupun ada enggak akan dua ribu rupiah, tapi dua ribu dollar."

"Bagus mobilnya. Pasti mahal."

"Percaya, deh. Kamu jauh lebih mahal. Apalagi kalau sudah ngambek."

"Jual mahal, ya?"

"Bukan jual mahal lagi, mental aku rasanya kayak lagi dilelang. Ditelpon enggak diangkat. Dicari enggak ketemu. Sekali ketemu, aku ngomong dan kamu diem. Sekali diprotes nangis kayak abis dikeroyok. Aku jadi serba salah."

Tiffany cubit gemas pipi Dylano. "Makanya jangan bikin aku ngambek. Bikin bucin saja." Ingat kata bucin, Tiffany jadi ingat apa yang ada di tasnya.

"Dylan, kamu kasih aku cokelat, enggak?"

Dylano masih sibuk dengan kemudinya. "Kamu mau cokelat?" tanya Dylano salah paham.

"Bukan. Aku tanya saja. Apa kamu kasih aku cokelat. Soalnya aku nemuin cokelat di tas aku. Terus ada suratnya. Tapi tulisannya bukan tulisan kamu," ungkap Tiffany dan tiba-tiba Dylano membanting setir ke kiri lalu mengerem dengan mendadak.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
DylanoWhere stories live. Discover now