Chapter 34. Kamu Yang Salah

1K 426 58
                                    

Mata Tiffany menatap tajam ke arah Abraham. "Memang anda siapa?" Tiffany malah balik bertanya.

Dylano memegang bahu Tiffany. Dia bangkit sambil membantu pacarnya ikut berdiri. Ditempatkan tubuh Tiffany di belakang tubuhnya. "Urusanmu denganku. Jangan bawa-bawa dia!" tegas Dylano.

Terdengar suara tawa merendahkan dari wajah Abraham. "Kamu bahkan enggak tahu sopan santun! Berani kamu bicara dengan orang tua sambil melotot begitu!" Telunjuk Abraham menoyor kening Dylano.

Orang tua Dave yang ingin membela anaknya sampai tak kuasa bicara melihat keadaan itu. Mereka hanya diam sambil memperhatikan dengab wajah ngeri.

"Kalau anak enggak boleh melotot sementara orang tuanya boleh? Kamu sering melawan Kakek, sementara aku enggak boleh melawan kamu? Anak itu cermina orang tua, Chairman!"

Selesai bicara, Dylano kembali ditampar hingga oleng. Untung saja Tiffany sempat menyangganya hingga Dylano masih bisa berdiri. Tiffany melangkah ke depan Dylano. "Jangan pukul dia lagi! Anda pikir dengan begitu dia bisa menurut? Gimana dia bisa bersikap lembut jika anda saja menghukumnya dengan kekerasan!" bentak Tiffany.

Abraham tak menggubrisnya. "Pulang kamu! Biar aku beri pelajaran di rumah," tegas Abraham menunjuk Dylano.

Dylano menyentuh bahu Tiffany. "Kamu pulang sama Lorna. Aku selesaikan inu dulu," pinta Dylano.

Namun, Tiffany menahan lengannya. "Enggak! Aku enggak akan izinin kamu pergi. Kamu di sini sama aku! Di sini!" tegas Tiffany dengan suara serak. Air matanya mengalir. Dan itu membuat hati Dylano tersentuh, nyeri. Tak pernah dia duga ada seseorang yang rela menangis untuknya karena khawatir.

"Jangan ikut campur!" Abraham menunjuk wajah Tiffany.

"Aku memang bukan siapa-siapa dia! Tapi aku tahu dia anak yang baik! Dia enggak pantas anda kasari seperti ini!" tegas Tiffany.

"Tahu dari mana kamu? Baik? Dia sudah berkali-kali membuat onar dan buat malu keluarga! Kamu tahu berapa banyak uang yang aku keluarkan demi menjaga martabat keluargaku yang hampir jatuh karena dia? Hah? Tahu?" Abraham berkacak pinggang.

"Jadi, apa itu tugas orang tua? Hanya menyelesaikan jika anaknya bermasalah? Hanya peduli jika anaknya menjatuhkan martabat keluarga? Lalu di mana anda waktu dia butuh kasih sayang anda dan bimbingan anda sebagai orang tua?"

Apa yang Tiffany katakan membuat Abraham semakin naik pitam. "Kamu masih bocah saja berani menasehatiku! Memang kamu sudah bisa apa? Punya apa?"

"Uang dan kedudukan enggak bisa membeli kebijaksanaa, Tuan. Dan apa pun yang anda bisa raih, sama sekali tidak ada artinya jika hati anda tak terbuka untuk menilai sesuatu lebih dekat."

"Kurang ajar kamu!" Tangan Abraham hampir menampar Tiffany jika saja Dylano tak menahannya.

"Sudah, jangan lawan dia! Balik ke kelas!" tegas Dylano.

Tiffany menggelengkan kepala. "Kamu sudah cukup suka lindungin aku. Sekarang aku bakalan lindungin kamu. Kamu enggak salah!" tegas Tiffany menepuk pelan lengan Dylano.

"Dylano itu manusia! Dia punya perasaan. Kenapa dia harus mengerti perasaan anda? Apa pernah anda tanya perasaan dia?" Tangan Tiffany memegang erat tangan Dylano.

"Manusia? Apa pernah dia berperilaku seperti manusia yang beradab?" Abraham malah balik bertanya.

"Pernah. Dibanding anda dan orang lain di sekolah ini yang merasa berasal dari kasta atas, dia lebih tahu cara menghargai orang yang kastanya berada di bawah. Dia berteman dengan siapa pun tanpa pandang dia miskin atau kaya. Dia mau nolong temannya yang kesulitan. Jangan lihat uang dari satu sisi, karena ketika sisi lainnya kosong, uang itu tidak berguna," tegas Tiffany.

"Buktikan kalau dia bisa jadi manusia!" tantang Abraham.

"Kita lihat! Kalau dia bisa berubah jadi anak yang baik, artinya anda yang gagal jadi orang tua. Karena dia bisa berubah bukan karena anda. Jadi, anda harus instrospeksi diri, mungkin ada yang salah dari diri anda. Kecuali, kalau dia memang tak berubah secuil pun. Artinya memang ada yang salah sama dia!" Tiffany malah menerima tantangan itu.

Dia tarik Dylano dari ruang Bk. Siswa yang mengerubungi ruangan itu terlihat menatap Tiffany dengan kaget. Mereka sama sekali tak menyangka Tiffany berani menggertak seorang Abraham Khani.

Dan gadis itu baru syok setelah jam pulang saat dia siap-siap membereskan bukunya ke dalam tas. "Kamu tadi beneran bentak Oom Abraham?" tanya Irma.

"Kenapa emang? Apa pantas orang tua nampar anaknya depan umum sampai berkali-kali? Negur anak saja harusnya enggak di depan banyak orang, apalagi nampar. Harusnya dia sadar, Dylano jadi keras begitu karena didikan dia yang kasar!" jawab Tiffany terlihat kesal.

"Emang kamu enggak takut sama dia?" Irma menggaruk kening.

"Memang kenapa? Aku tahu dia orang kaya. Tapi bukan artinya dia bisa gitu sama Dylan."

"Dia masuk daftar seratus orang terkaya di dunia," tegas Lorna.

Buku Tiffany yang tengah dipegang mendadak jatuh ke lantai. "Yang bener?" tanya Tiffany syok.

Lorna memutar bola mata. "Mereka tinggal di New York. Perusahaan Khani itu perusahaan internasional. Alasan kenapa Dylano ditaruh di sini karena sikapnya itu. Kalau dia jadi anak baik, dia pasti dikirim ke Swiss kayak kakak dan adeknya. Sayang itu anak enggak ada pawangnya. Dia nakal, makanya dibuang ke sini!" tegas Lorna.

"Tahu alasan Dylano bisa lepas dari tindakan kriminal dia? Tentu karena kuasa Abraham Khani. Dan kamu bentak pria itu tadi."

Lorna dan Irma langsung bertepuk tangan. Tiffany mengambil ponsel dan mengeceknya langsung, takut Lorna dan Irma berbohong. Namun, dia tercengang melihat nama Abraham Khani dengan rentetan nama perusahaan di bawah kepemimpinannya.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DylanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang