Chapter 14. Miring 0,5 derajat

1.4K 540 156
                                    

Angin menerpa wajah Tiffany saat ia membuka kaca helmnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Angin menerpa wajah Tiffany saat ia membuka kaca helmnya. Padahal dia sudah membayangkan duduk di motor, memeluk pria ganteng dan angin meniup pelan ke wajah. Faktanya, ngebut dengan Dylano bukan hal yang romantis. Bukti, yang ada mata Tiffany malah kelilipan.

Tiffany tutup kaca hitam helm merah muda yang ia kenakan, tetapi merasa jalan yang dilewati bukan jalan yang biasanya. "Ouh, mungkin karena beda sama jalur angkot," pikir Tiffany yang tak tahu jalan di Kota Bandung selain daerah Cicadas dan jalan menuju sekolah.

Dia memang hampir tak pernah ke mana-mana. Tak ada namanya piknik keluarga. Satu-satunya tempat piknik yang ia kunjungin kebon binatang bandung dan taman lalu lintas.

Akhirnya motor Dylano menepi. Tiffany turun. Gadis itu membuka helm. "Ini di mana?" tanya Tiffany bingung.

"Taman Maluku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Taman Maluku. Masa enggak tahu?" Dylano heran. Apa memang tempat ia memarkir motor bukan tempat yang umum?

"Aku belum pernah ke sini," jawab Tiffany polos.

Dylano menaikan alisnya. "Bagus, dong! Jadi ini tempat kencan pertama kita."

Setelah mengaitkan helm di spion pun dengan helm Tiffany, ia tuntun pacarnya masuk ke lingkungan taman. Pohon-pohon besar tumbuh di sana. Di bawahnya ada pepohonan kecil dan semak-semak. Jalan setapak memutar taman itu. "Sepi di sini," komentar Tiffany.

Dylano berlari lalu duduk di kursi taman lebih dulu. Ia menepuk-nepuk bangku di sampingnya. Namun, Tiffany yang tengah melihat-lihat sekitar tak menangkap kode itu dan malah duduk di bangku lain.

"Yah, zonk!" keluh Dylano. Ia berdiri dan pindah duduk di samping Tiffany.

Senyumnya melengkung menatap gadis itu. "Enggak mau gitu kasih yang kedua?"

Tiffany balas menatap Dylano. Kedua mata hitamnya berkedip. "Apa yang kedua?"

Dylano menunjuk bibirnya.

Sedang Tiffany langsung mengatup bibir dan menutup dengan telapak tangan. "Itu, aku enggak bisa. Ayah nanti marah. Kata Ayah, perempuan baik jangan sembarang nyium laki-laki dan laki-laki yang baik, enggak sembarang nyium perempuan."

Dylano membasahi bibirnya. Ia mendadak jadi salah tingkah. "Maaf, enggak lagi. Kecuali kamu yang minta." Dylano nyengir kuda.

Mereka duduk tanpa saling pandang. Dylano menatap ke kolam. Sedang Tiffany masih sibuk melihat-lihat ke kejauhan. Kakinya bergerak-gerak mengayun ke depan dan belakang.

Tak lama Tiffany ingat sesuatu. "Tuan Muda," panggil Tiffany. Ia agak ngeri juga harus memanggil setan di sampingnya. Untungnya setan yang ini datang tanpa ritual.

"Ish, jangan panggil Tuan Muda. Emang aku ini juragan cabe apa? Panggil Dylan, Sayang, Baby, Honey apa gitu. Yang manis kayak kental manis rasa cokelat."

"Tuan Dylan?"

"Hapus Tuannya. Kan dibilang tadi aku bukan juragan cabe!"

"Dylan?"

"Apa, Tiffy. Ih lucu ya dipanggil Tiffy. Imut gitu kayak kelinci. Kamu emang kayak kelinci punyaku, sih."

"Kamu punya kelinci?" tanya Tiffany kagum. Ternyata Dylano boleh sadis, tapi peliharaannya manis.

"Punya. Sudah mati, terjun dari lantai dua rumah."

Mata Tiffany terbelalak. Ia membayangkan menjadi kelinci malang itu. Dibandingkan dipelihara setan macam Dylano, kelinci itu lebih milih bunuh diri 🐰.  "Ouh. Iya. Itu ... aku mau tanya soal Non Reva, Non Tiwi sama Non Hani."

"Pertama, mereka bukan juragan cabe juga. Kedua, kalian sama-sama murid di sana. Derajat kalian sama. Ketiga, kalau kamu manggil mereka kayak gitu lagi, aku bikin mereka jatuh juga dari lantai dua rumahku."

"Jangan!" Tiffany menggerakkan kedua tangannya.

"Terus?"

"Itu, mereka ke mana? Tadi mereka enggak masuk kelas. Tuan ... emm ... Dylano, enggak buat jahat sama mereka, 'kan?"

Dylano mengusap dagu. "Ouh, yang tiga cewek rese tadi? Dia sudah aku pulangkan ke alamnya."

"Astaghfirullah. Kamu bunuh mereka?"

"Enggaklah. Mereka masih di atas tanah di bawah langit, kok. Nyawanya masih nempel di badan."

Tiffany mengembuskan napas lega. "Tolong banget. Aku tahu mereka salah. Cuman kalau mereka disakiti karena aku, orang tua mereka bisa lapor ke sekolah. Terus aku bisa dikeluarin. Tolong, ya? Orang tuaku enggak punya uang buat pindah sekolah," mohon Tiffany. Walau ia tak yakin Dylano punya rasa kasihan.

Dylano menggeleng. "Mereka enggak akan berani ngeluarin kamu. Tahu kenapa?"

"Apa?"

Tiffany tak tahu arti senyuman jahil Dylano saat di taman. Mereka hanya berjalan-jalan dan Dylano tak memberi jawaban bahkan sampai ia menurunkan Tiffany tak jauh dari gerobak gorengan.

"Salim!" Dylano memberikan tangannya. Tiffany raih dan langsung mencium tangan Dylano. "Gitu, dong. Calon istri idaman. Pulang, cuci kaki dan tangan, ganti baju, bobo."

"Mau salat Ashar dulu," ralat Tiffany.

"Doain kita berjodoh, ya?"

Tiffany hanya tersenyum. "Mana mungkin? Masa depanku gimana nanti?" batin gadis itu.

Tak lama Dylano pergi. Dan keesokan hari saat Tiffany tiba di sekolah, ia jadi bahan perhatian. Dia pun bingung apa yang membuat semuanya begitu hingga menemukan pamflet tertempel di setiap dinding sekolah.

"PACAR DYLANO KHANI! BERANI GANGGU, NYAWA MELAYANG! URUSAN DENGAN DYLANO BERLAKU DUNIA-AKHIRAT!"

Bahkan ada foto Tiffany di sana. Foto dia sedang menggoreng cireng. "Ya ampun, ini apaan?"

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
DylanoWhere stories live. Discover now