11

18K 3.1K 556
                                    

Sorry aku target. 500 vote 300 komen aku update lagi, ya. Biar aku ngerasa dihargai dengan vote. Ngga susah kan? Tinggal pencet ⭐ selesai deh. Ngga nyampe lima detik.😁

BANTU VOTE, KOMEN, TERUS SHARE KE TEMEN, TIKTOK, TWITTER, IG, ATAU KE SOSMED LAIN YUK 🙏🏻

MAKASIH ❤️

HAPPY READING

***

Tangannya yang gemetar reflek dia sembunyikan, sementara jantungnya yang berdegup kencang berusaha dia kendalikan dengan terus menghitung dalam hati, merapalkan mantra agar tetap tenang. Wajahnya pucat pasi namun dia mencoba setenang mungkin. Jujur, dia sedikit menyesal akan tindakannya tapi dia lega. Jika Axiel dibiarkan lebih jauh maka dia yang akan rugi. Hal lain lagi adalah karena dia tak nyaman. Ruang bimbingan konseling memiliki aura tidak enak yang membuatnya merasa tidak tenang. Sekalipun di masa yang akan datang dia membutuhkannya untuk suatu keperluan namun ruangan ini selalu saja memiliki aura aneh. Apalagi jika mereka yang ditugaskan di sini tidak bisa merangkul anak-anak didiknya dengan baik. Selalu menyalahkan, menghakimi tanpa melihat kebenaran dibalik suatu kasus, kemudian mengambil langkah tengah untuk berdamai demi menjaga reputasi sekolah. Hal berulang yang membuat Ranika tidak menyukai tempat ini.

Ranika tidak bermaksud menyalahkan, hanya saja, tempat ini adalah salah satu ruangan yang sangat tidak dia sukai dari suatu sekolah. Banyak anak yang senang karena merasa guru konseling mereka baik. Namun, untuk seseorang sepertinya yang memiliki segudang kecurigaan, banyak membuat praduga, dan pernah merasakan ketidak adilan dulu membuatnya trauma.

"Kamu kenapa mukul Axiel?" tanya Nora--guru perempuan yang memergoki mereka sedang berkelahi. Umurnya masih sekitar tiga puluhan tahun. Wajahnya juga masih ayu dan belum terlihat kerutan. Rambutnya yang diikat ke belakang serta kacamata kotak, tanda lahir berupa titik hitam di atas mulutnya menjadi ciri khas darinya.

"Dia nampar saya," sahut Aylin tenang.

"Kamu kenapa nampar Aylin, Axiel?" Nora kini melemparkan pertanyaannya pada Axiel yang mengganti pakaiannya dengan kaos hitam sementara rambutnya basah.

Axiel melirik Aylin. "Dia hina saya sama Dara, Bu. Dia ngatain saya bajingan sementara Dara dia katain pelacur. Dia kelewatan, Bu! Dia bahkan ngga minta maaf sama kita," lapornya singkat.

Aylin menghela napas panjang. Kalah sudah. Dia pasti akan disalahkan.

"Aylin, kamu kenapa bilang kaya gitu sama Axiel? Kamu minta maaf dulu, ya."

Aylin seketika tertawa. Dia menunjuk dirinya sendiri dan menyeringai. "Gue? Minta maaf sama dia?" Aylin berhenti tertawa. "Najis. Kenapa gue harus minta maaf sama orang yang udah nyakitin gue?"

"Aylin! Jaga cara bicara kamu, ya!"

"Kenapa? Emang ibu tahu apa yang udah dia lakuin ke saya?" Aylin menatap Axiel. "Dia ancam saya, dia jadiin saya jaminan buat motornya karena kalah taruhan pas balapan liar, bahkan dia ninggalin saya sendirian dan bikin saya nyaris celaka! Jadi, apa saya harus diam saja?" balasnya sengit.

Nora diam. Dia menatap Axiel dengan tajam namun Aylin tak merasakan empati sedikit pun dari guru itu. Dia tahu, Nora masih tetap menyalahkannya karena membuat keributan. "Kita urus itu nanti. Sekarang kita selesaikan dulu masalah di kantin. Kalian sudah membuat keributan yang tidak seharusnya." Damn it. Aylin tahu ini. "Jika kalian punya masalah seharusnya kalian selesaikan baik-baik dan bukannya malah berkelahi seperti ini di depan umum. Kalian tidak malu jadi tontonan? Kalian sudah mencoreng reputasi sekolah!" imbuh Nora kemudian.

"Selesaikan baik-baik? Saya dijual ke cowok lain oleh orang yang saya sukai dan saya harus selesaikan semuanya dengan baik-baik? Ibu gila?" maki Aylin geram.

"AYLIN!" Dia mengangkat tangannya. "Jaga bicara kamu sebelum ibu mendisiplinkan kamu dengan keras. Kamu itu sudah keterlaluan. Kamu selalu mencari masalah. Kamu selalu membully anak-anak lain dan membuat mereka menderita lalu sekarang kamu mengejek saya? Saya guru kamu, Aylin!"

Aylin tak menyahut. Dia menatapi kuku-kuku jarinya yang dipoles rapi dengan seksama.

"DENGARKAN SAYA, AYLIN!"

"Beraninya kamu bentak anak saya?"

Seorang pria paruh baya berdiri dengan tangan terkepal dan mata menyorot tajam. Aylin tersenyum melihat ayahnya menghampirinya dan menariknya ke belakang untuk melindunginya. "Punya hak apa kamu bentak anak saya seperti itu!" Dia menatap Nora yang membeku dengan sinis. "Saya bahkan tidak pernah memperlakukan anak saya seperti ini, beraninya lalat kecil seperti kamu berniat memukulnya!"

Kaffa beralih pada Aylin. "Sayang, kamu keluar aja dulu. Ini biar papa yang urus," tuturnya lembut.

Aylin mengangguk pura-pura sedih dan melangkah ke arah belakang ayahnya. Barulah ketika sang ayah tidak lagi melihat. Gadis itu menyeringai sinis ke arah gurunya dan juga Axiel yang menahan emosi akan tingkah Aylin. Kenapa gadis ini pandai sekali bersandiwara?

Aylin kemudian keluar dari ruang konseling dengan suasana hati senang. Privilege yang dia punya memang menakjubkan. Biar saja dia dikira anak Papa. Selama ada, kenapa tidak dimanfaatkan saja? Lagipula tidak banyak seseorang yang lahir dengan kemewahan yang begitu menakjubkan sepertinya. Tunggu, Aylin meringis. Rasanya dia terlalu jauh mendalami perannya sebagai Aylin. Lama kelamaan dia jadi semakin mirip dengan gadis itu. Sombong dan menyebalkan.

Aylin meringis menyentuh pipinya yang merah. "Kok perihnya malah makin kerasa, ya?" gumamnya sebal.

"Karena ngga langsung lo obatin." Seorang cowok tiba-tiba menyeletuk sambil mengulurkan sebuah salep untuknya. "Nih, ambil!"

"Oh, thanks." Aylin mengambilnya dan menatap salep itu. "Lo sering bawa ginian?" singgungnya heran.

"Iya, soalnya gue kenal seseorang yang suka banget dapet luka tampar kaya lo." Dia mengulurkan tangannya. "Nama gue Hades, lo Aylin 'kan?" tebaknya ringan karena memang tidak seorang pun yang tidak tahu siapa itu Aylin.

Mata Aylin melebar. Dia menatap sekelilingnya dengan takut dan benar saja. Seekor banteng merah tanpa tanduk sedang melotot dan menghampirinya dengan tergesa-gesa. "Makasih. Gue pergi dulu!" pamitnya buru-buru sambil mengambil langkah lebar menuju ke kelasnya.

Angela tiba di depan Hades yang seketika merubah wajahnya menjadi datar. "Hades, halo! Udah cinta aku belum?" tanyanya lagi seperti biasa.

"Najis!" balasnya ketus. "Dah, sana minggir! Ganggu aja lo!"

"Ih Hades! Jan galak-galak sama Baby Ela yang unyu ini. Nanti kalo ilang, nyariin loh!" ujarnya genit sambil kedip-kedip manja.

Hades merotasikan matanya malas. Angela tidak peduli dan malah tersenyum lebar. "Oh iya, tadi Hades ngomong sama siapa?"

"Calon pacar gue lah!" ujarnya santai kemudian melengos pergi begitu saja meninggalkan Angela yang terdiam kaku di tempatnya berdiri. Hades menyeringai puas menemukan keterkejutan di wajah Angela. Biar saja. Dia kesal dengan gadis itu yang selalu membuntutinya dan menganggu gadis-gadis yang dekat dengannya. Jika Aylin? Hm, dia pasti akan menjauh karena tahu siapa gadis itu.

Angela sendiri mengepalkan tangannya dengan mata melotot dengan bibir tersenyum lebar. "Kemarin Dara, sekarang Aylin! Baby Ela harus gimana ya Hades, hm?" gumamnya sambil bersenandung kecil seperti sedang merencanakan sesuatu.

****

Terima kasih banyak udah baca.
Jangan lupa jejak, ya.

04-11-2021

I'm An Antagonist GirlWhere stories live. Discover now