3O

8.2K 1.7K 269
                                    

Spam komen dong, titik juga ngga papa, sepi banget 😔

***

Sendirian, sepi, dan ketakutan. Dia tidak menyangka akhirnya hari seperti ini akan datang juga. Hari di mana dia begitu menginginkan keberadaan cowok itu. Orang aneh yang terus saja berusaha dia usir karena menurutnya menganggu. Tetapi sekarang, detik ini juga, Aylin sangat berharap Arkala berada di sini. Dia berharap pemuda itu ada di sisinya.

Mata Aylin sempat melirik ke belakang, di mana beberapa orang aneh berpakaian berantakan serba sobek bahkan bertindik besar dengan gaya rambut nyentrik membuntutinya. Aylin tidak bisa melawan. Dia sadar, dia akan kalah, karena itu yang bisa dia lakukan adalah lari. Dia harus lari, lari, dan lari.

Aylin sudah mengambil batu besar sebagai senjata, berjaga-jaga untuk melawan jika sampai tertangkap, tetapi hal ini tetap tidak bisa dijadikan jaminan keselamatan untuknya. Sebab itulah yang harus dia lakukan adalah lari sampai dia terbebas dari incaran mereka. Aylin melihat sebuah minimarket dan segera masuk ke dalam.

"Selamat datang," sapa pegawai perempuan di balik meja kasir. Dia mengamati keadaan Aylin yang berantakan dan segera mendekatinya. "Eh, dek, kenapa dek? Ada yang perlu dibantu?" tanyanya bingung.

"Tolong saya, kak. Mereka, mereka dari tadi ngikutin saya!" lapornya sesenggukan sambil menoleh ke belakang. Tampak beberapa anak nakal itu berlalu setelah melirik Aylin yang berada di dekapan karyawan minimarket itu.

"Tenang, ya. Udah, mereka udah ngga ada." Karyawan dengan name tag 'Hilda' itu memeluk Aylin dan mengusap-usap punggungnya. Aylin yang gemetar tanpa sadar masih terus menggenggam batu tadi hingga membuatnya terluka karena permukaannya yang tajam. Hilda yang sadar akan itu segera meraihnya. “Lepas, ya dek. Nanti tangannya makin luka,” pintanya lembut.

Aylin mengangguk dan melepaskan batu itu dari tangannya. Dia menunduk dengan ketakutan. Sungguh, ini kejadian yang sangat mengerikan. Untung saja dia berhasil lepas. Aylin tidak bisa membayangkan jika dia masih berada di luar sana dan terus lari dari kejaran mereka. Hilda melirik Gita, salah satu rekan kerjanya yang datang sambil memberikan sebotol air minum. "Di minum dulu, dek. Tenang, ya. Adek udah ngga papa, kok. Udah, ya. Ada kakak di sini. Adek ngga sendirian lagi."

Aylin tak mendengarkan. Fokusnya masih pada satu nama yang sedari tadi batang hidungnya tak dia lihat. "Arkala ...," gumamnya tanpa sadar.

Hilda yang mendengar mengernyit. "Arkala?" ulangnya. "Dia temen kamu? Dia kakak kamu? Atau, dia keluarga kamu? Mau telpon dia?" cerca Hilda perlahan. Tampaknya Hilda bisa memahami jika Arkala ini orang yang sangat penting karena itu dia berusaha mengulik informasi dari Aylin agar bisa membantunya.

Aylin tetap tak menyahut. Dia masih sibuk sendiri. "Arkala, Arkala, Arkala," bisik gadis itu berulang kali.

Hilda menatap rekannya dan menggeleng. "Nggak di jawab," ucapnya tanpa suara.

Gita menoleh, dia ikut bingung. Apa mereka harus lapor pada polisi? Ah, sepertinya begitu. Gita pergi ke belakang rak makanan di sisi kanannya guna menelepon pihak kepolisian agar tidak membuat Aylin panik, namun, gerakannya terhenti ketika melihat sepasang kekasih memerhatikan Aylin yang membungkuk sambil memegang erat botol minumnya tadi. Gita mendekati keduanya. "Permisi ... Dek, kenal dia?" sapanya kemudian.

Sang cowok terperanjat kaget lantas menyipitkan matanya, memperjelas penglihatannya sendiri yang terasa kurang jelas dan mengangguk. "Dia Kak Aylin!" ujarnya kemudian.

"Eh, Kak Aylin? Cewek jahat itu bukan sih? Kriminal sekolah?" timpal cewek di sampingnya.

"Ze, jangan gitu!" tegur si cowok bernama tag 'Raditya Abiyasa'.

I'm An Antagonist GirlDove le storie prendono vita. Scoprilo ora