44

3.8K 750 26
                                    

Guys, maap gaje. Gue bingung mau update apaan, anjir.

***

Pagi itu suasana di lorong kelas SMAS Jenggala 3 tampak ramai. Para siswa berlomba-lomba untuk masuk ke dalam kelas karena tinggal lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Hal ini tak berlaku untuk siswi laknat seperti Aylin yang malah dengan santai memakan sekotak salad yang sempat dibelinya di jalan sambil berjalan menuju ke kelasnya.

“Aylin.”

Gadis itu berhenti melangkah. Dia menoleh dan mengernyit mendapati sosok yang tak ingin dia lihat sedikit pun, namun dia keras kepala dan tetap saja berani menampakkan kakinya di depannya. Axiel, pria gila dan idiot itu malah tersenyum padanya. Aylin mengernyit jijik. Cewek itu segera mengalihkan pandangannya dan melangkah pergi tetapi Axiel menahannya. Aylin segera menepis tangan cowok itu dengan kasar. “Jangan sentuh gue sembarangan, gue nggak suka, ya!” sentaknya marah.

“Aylin, dengerin gue dong. Gue mau ngomong sama lo,” tutur Axiel pelan. Dia berusaha untuk mengubah cara bicaranya yang dulu pada Aylin. “Gue cuma butuh lima menit aja, deh. Gue perlu ngomong sama lo. Ini penting, Aylin,” lanjutnya dengan intonasi lembut.

“Bodo amat. Gue nggak mau peduli lagi sama apapun yang lo omongin. Gara-gara lo datengin gue, anak-anak jadi salah paham sama gue. Padahal, gue ngga ngarepin lo sama sekali tuh.” Aylin menoleh ke sekelilingnya dan menemukan ada banyak orang yang menaruh perhatian pada mereka berdua. “Nih, ya. Dengerin, gue nggak ada hubungan apapun sama dia. Kalian kalo mau nyebarin gosip yang bener dong. Mana sudi gue berhubungan lagi sama dia!”

Aylin tersenyum remeh. “Lagian cowok gue yang sekarang jauh lebih baik daripada dia. Mata gue masih waras buat nggak jatuh cinta lagi sama cowok sinting kaya dia.”

Ini kelewat batas! Aylin tidak pernah merendahkannya seperti ini namun sekarang, gadis itu berkata hal semacam itu dengan sangat bebas. Tanpa rasa bersalah dan tanpa beban. Axiel tidak bisa diam saja, walaupun dia ingin menarik kembali Aylin ke sisinya tetapi bukan berarti dia akan diam saja saat diremehkan seperti ini.

Axiel mencengkeram tangan Aylin dan membuat cewek itu meringis kesakitan hingga kotak salad miliknya terhempas berceceran di lantai. Gila! Axiel serius ingin meremukkan tangannya. “Axiel, lepas! Sakit, anjir! Gila lo! Gue cewek, woi!” pekiknya saat cowok itu menyeretnya menjauh dari kerumunan.

“Axiel! Lepas! Lo nyakitin gue!”

“Sumpah, sakit. Gue nggak bohong!”

Axiel seakan tuli. Cowok itu menarik Aylin ke sisi samping bangunan kelas yang sepi dan mendorong tubuh Aylin hingga menubruk dinding. Aylin meringis merasa sakit di tangan dan juga punggungnya. “LO GILA, HAH?!” teriak Aylin murka.

“CUKUP, LIN! CUKUP!” Axiel balas berteriak, dia memegang kedua bahu Aylin dan memerangkapnya di antara dinding dan dirinya. Axiel menunduk. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Aylin yang terkejut karena bentakan Axiel. “Gue tahu kalo lo cuma pura-pura 'kan? Lo jauhin gue karena permintaan Raga? Stop, udah, Lin. Gue minta maaf. Gue bakal ngakuin semuanya ke dia dan buat dia nggak ngebenci lo kaya gini. Jadi, please. Balik ke gue, ya? Gue mohon ...,” ratap Axiel sendu.

Tubuh Aylin menegang. Dia merasakan napas Axiel yang memburu. Sisi Aylin yang lain kembali terusik merasakan penyesalan sungguh-sungguh yang cowok itu perlihatkan. Dia sedang tidak main-main dan itu membuat kepalanya sakit. Dadanya juga terasa nyeri. Sialan, Aylin sudah mati namun dia terus saja mengharapkan pemuda gila ini. Aylin memang tidak waras. “Gue mohon, gue mohon, Aylin. Gue mohon sama lo, maafin gue, Lin. Gue mohon sama lo. Gue nggak mau lo pergi. Gue kesepian tanpa lo,” bujuk Axiel lagi.

Aylin mengangkat tangannya, dia ingin menepuk punggung Axiel namun urung, cewek itu menarik kembali tangannya dan mengepal kuat di sisi tubuhnya. “Lo telat, Xiel.”

Axiel menjauhkan dirinya. Dia menatap Aylin dengan sendu.

“Kita udah selesai.” Aylin tersenyum dengan terpaksa. Dadanya terasa perih. Ini bukan perasaannya. Ini perasaan Aylin yang sesungguhnya. Walaupun Aylin sudah mati dan melepaskan kehidupannya namun perasaannya pada Axiel masih ada. Itu tersimpan rapi di sudut hatinya. Kebenciannya memang lebih mendominasi namun Aylin itu tidak bisa menyembunyikan fakta jika dia sangat mencintai cowok ini. Ini adalah contoh cinta antagonis yang gila. Kenapa dia harus mengetahui ini? Ini bukan novel tapi kehidupan orang lain dan dia terpaksa untuk menggantikannya. Dia benci fakta mengerikan ini.

“Kita beneran udah ngga bisa bareng-bareng lagi, Xiel. Ini bukan soal permintaan Raga, tapi ini soal hubungan kita yang ngga bisa dipertahanin. Kalo kita ngotot buat bareng lagi, akhirnya cuma nyakitin satu sama lain. Kita bakal sama-sama ngerasain sakit yang lebih dari ini.”

Axiel terdiam. Dia menunduk dan perlahan melepaskan cengkeramannya di bahu Aylin. Rasanya sungguh sakit. Dia merasa ada pisau yang sedang melubangi hatinya. Sedikit demi sedikit memperlebar lubang yang ada. Aylin mengulurkan tangannya, mengajak pemuda itu untuk berjabat tangan. “Gue nggak bisa ngajak lo temenan. Tapi, gue harap lo bisa dapetin orang yang lebih baik dari gue.”

Axiel menatap uluran tangan Aylin dengan kecewa. Dia pikir dia bisa memperbaikinya tetapi sepertinya tidak bisa. Aylin sudah telanjur tidak menginginkannya. Axiel balas menjabat tangan Aylin dan tersenyum kecut. “Kayaknya gue nggak akan bisa nemuin cewek sebaik lo.”

Aylin menarik tangannya. “Gue pergi,” pamitnya.

Aylin melenggang pergi namun panggilan Axiel membuatnya menoleh. “Jaga diri lo baik-baik.”

Aylin mengangguk. Cewek itu berbalik dan kembali melangkah. Kali ini dia tidak akan menoleh. Semua telah selesai. Mereka benar-benar selesai. Perasaan lega terasa memenuhi rongga dadanya sepenuhnya. Dia bebas. Dia benar-benar bebas. Dia tidak harus berurusan atau memaki Axiel untuk membencinya karena dia tidak lagi memiliki alasan itu. Dia hanya harus melangkah maju dan meninggalkan masa lalunya.

Nah, sekarang. Mari temukan orang sialan yang menerornya. Aylin menatap tajam ke depan.

Axiel sendiri terjatuh di tanah dengan kepala tertunduk. Cowok itu menyandarkan punggungnya di dinding dan menutup wajahnya. Axiel tertawa miris. Dia benar-benar kalah.

Disaat dia terpuruk, biasanya Aylin yang ada di sisinya. Jika bukan Aylin, ada teman-temannya. Tetapi mereka sekarang pergi karena kebodohannya sendiri. Axiel tidak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat dan memaki dirinya sendiri. Axiel bahkan sampai memukul-mukul kepalanya sendiri karena terbalut rasa penyesalan yang tak terbendung. Axiel terperanjat kaget ketika tiba-tiba sebuah tangan menahannya.

“Dara?”

Dara, gadis itu tersenyum. Dia sudah melihat semuanya. Urusan mereka telah selesai. Sekarang, hanya ada dia. Tidak, dia tidak sesenang itu. Dia hanya, entahlah, itu perasaan yang sulit dijelaskan. Selama ini dia bertindak seperti yang seharusnya. Dia suka terlihat lemah di depan Axiel karena dia merasa seseorang sedang melindunginya. Lagipula pria itu juga menyukai tindakan bodohnya yang menjadi orang paling menyakitkan. Namun, sekarang orang ini membutuhkannya. Dia tidak bisa berpura-pura tidak tahu dan tetap bertingkah sok lugu seperti biasa. “Kak Axiel,” tuturnya lembut.

“Dara ... Maaf.”

Dara menggeleng. Dia memeluk Axiel dan menepuk-nepuk punggungnya yang bergetar. Kedua orang palsu ini membebaskan dirinya untuk saat ini. Axiel yang bertingkah sok kuat pada dia sebenarnya pecundang. Sementara Dara, orang bodoh yang menjadi gadis paling menyedihkan menjadi orang yang tangguh. Ada banyak tindakan tak masuk akal disekitar kita. Entah sadar atau tidak, ada banyak kepalsuan yang mengudara. Semua tergantung bagaimana kita akan menanggapinya dan Axiel juga Dara memutuskan memakai topeng itu. Topeng kepalsuan yang membuat diri mereka terlihat buruk di mata dunia ketimbang orang lain melihat titik lemah mereka.

***

25-02-2022

I'm An Antagonist GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang